Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | Chapter 10 Accusation For Me | Chapter 11 Semi Final | Chapter 12 Cinta untuk Allah | Chapter 13 Free Kick Detik Terakhir | ...
Chapter 13
Free Kick Detik Terakhir
author :noname
Pak Dary mengatakan bahwa
Lofty kerisis pemain. Mengapa begitu. Yang pertama, Kak Rino harus istirahat.
Dia tidak bisa ikut pertandingan final. Sehingga kita kehilangan stiker satu.
Kedua, Kak Ian tidak bisa menggantikannya karena tadi baru saja, saat menuju
kemari dia kecelakaan motor. Alhamdulilah tidak parah tetapi kakinya diperban.
Kalau begitu siapa yang menjamin dia akan ikut final nanti. Kita kehilangan
satu stiker lagi. Kak Ian adalah stiker yang bagus juga. Kemudian, karena
anggota Lofty yang angkatan kelas dua kebanyakan tidak bisa ikut pertandingan.
Sedangkan, angkatanku yang ikut Lofty hanya 12 orang dan hanya Olik yang biasa
kejatahan stiker. Dia memutuskan untuk memakai formasi 4-3-3 entah apa yang
dipikirkan oleh Pak Dary dia memutuskan hal tersebut.
“Sebagai center forward adalah Rama. Kemudian
sayapnya adalah Aby dan Olik. Aby sayap kiri dan Olik sayap kanan. Ada tiga center midfield mereka adalah Ridho,
Dhafa, dan Harun. Nah sebagai dua ful back seperti biasa adalah Toni dan
Didi dan dua center bek adalah Dimas
dan Adi. Terakhir Fajar sebagai kiper. Semuanya mengerti,”Pak Dary
menjelaskannya sambil menatap pemain satu-persatu.
Pak Dary menjelaskan
bagaimana skema permainannya. Dia bilang kalau lawan Lofty di final nanti
adalah lawan yang sangat tangguh. Mereka tipenya menyerang. Kemarin saat
bersamaan dengan pertandingan Lofty vs Tiseja. Tim ini juga bertanding.
Hasilnya menakjubkan dengan skor 4-0. Mereka menang telak. Padahal tim yang
mereka kalahkan adalah tim yang tangguh juga. Oleh karena itu, Pak Dary selalu
bilang yang depan teruslah menyerang yang belakang teruslah bertahan, saling
kerjasama dan kompak. Jangan sia-siakan kerjasama.
“Sudah kesepakatan
besok kami harus tampil yang terbaik. Oke, harus itu,” tekadku.
.
.
.
Permainan semakin
memanas. Dalam pertandingan ini tim kami maupun tim lawan terus saja saling
menyerang. Sangat melelahkan harus lari-lari mengejar bola. Bayangkan jika
orang-orang yang jarang olahraga. Lari-lari di lapangan bola. Baru lima menit
pun sudah kelelahan. Hampir selesai babak pertama. Lofty kalah dua angka.
“Skor sementara adalah
3-1,”kata komentator yang masih sama suaranya yaitu serak. Pasti orangnya sama.
Ada yang ganjal. Kami
kurang kompak. Posisi belakang kewalahan menghadapi pemain lawan yang
menyerang. Aku pun juga mundur membantu pertahanan. Lofty kalang kabut. Semua
yang dikomando oleh pelatih tampan sia-sia. Pak Dary terus saja berteriak dari
pinggir lapangan. Namun, kenyataannya aku lihat kawan-kawanku mulai turun
semangatnya apalagi setelah Olik diberi kartu merah. Kami semakin frustasi.
Mereka, tim lawan menertawakan kami. Kami sebenarnya emosi sekali.
Ceritanya begini. Saat
Olik menggiring bola kemudian bola di rebut oleh pemain nomer 45 dengan kasar
hingga Olik terjatuh namun nomer 45 itu hanya diberi peringatan oleh wasit. Itu
terjadi diawal waktu permainan. Nah
saat itu, keadaan mulai memanas antara Olik dan nomer 45 saling berpandangan
membenci dan bernafsu. Nomer 45 itu Rudi. Di sinilah titik permulaan hingga
Olik dikeluarkan dari lapangan. Dia merebut bola dengan cara tackling.
Menurutku, itu tackling itu bersih tapi Rudi sengaja saja untuk terjatuh dan
merasa kesakitan.
“Ternyata Olik di kartu
kuning oleh wasit,”kata komentator yang bersuara cempreng.
Kami menyesalkan itu.
Aku dan Kak Rama merangkul Olik. Kemudian,
teman-teman udi merubungi rudi dan terjadi kerusuhan. Olik dan nomer 45 yang
sudah dapat berdiri tiba-tiba saja adu mulut dan saling menabrakan diri mereka.
Kami berusaha melerainya.
“Terjadi kerusuhan
antara Olik dan Rudi di lapangan. Akankah kartu kuning atau kartu merah akan
dikeluarkan oleh wasit? Ternyata wasit mengeluarkan kartu kuning kembali kepada
Olik dan juga memberi kartu kuning kepada Rudi. Dengan begitu Olik harus keluar
dari lapangan, sayang sekali Lofty kehilangan stiker yang gesit itu,” suara
serak terdengar.
Dengan terpaksa, raut
muka yang lesu dan masih penuh amarah, Olik keluar dari lapangan. Disertai
teriakan tim lawan yang mencerca Olik dan teriakan pendukung kami yang
menghibur Olik. Setelah detik inilah semangat kami mulai turun. Saat itu skor
masih 1-1. Permainan terus berlanjut tim lawan menyerang dan terperangkap offside.
“Mengapa wasit garis
tak mengibarkan bendera dan peluit?” tanyaku pada diri sendiri.
Kami tersentak kaget dan berusaha untuk merebut bola namun gagal,
gawang kami terjebol untuk ke dua kalinya. Gol ketiga dibentuk oleh pemain
punggung nomer 45, Rudi yang menjengkelkan.
Kami diberi intruksi
dan motivasi oleh Pak Dary. Olik juga meminta maaf kepada kami karena
menurutnya telah mengecewakan kami. Namun kami tidak beranggap begitu. Ini
semua sudah terjadi. Kak Harun, aku dan Dhafa mengindikasikan kecurangan wasit.
Jelas saja, Kami menduganya tentang kenapa bisa Olik dikeluarkan dan tentang
jebakan offside itu.
“Sudahlah jangan
hiraukan masalah itu. Fokus dan semangat, oke! Ingat itu formasinya. Kalian
pasti bisa. Baiklah masih ada waktu. Mari kita salat meminta petunjuk Allah,”
kata Pak Dary.
Setelah itu kami siap
mengejar ketinggalan gol dan mencetak gol lebih banyak. Jujur aku merasa lebih
tenang setelah mengambil air wudhu dan salat. Saat kami akan keluar dari ruang
ganti ini, Pak Dary berbicara lagi.
“Oke, lihatlah para
pendukung kalian di tribun sana. Mereka mengharapkan yang terbaik untuk kalian.
Jangan kecewakan mereka,” katanya
berapi-api.
Aku merasa semuanya
menjadi tambah bersemangat. Walaupun begitu, hanya dengan sepuluh pemain. Kami
pasti bisa mempersembahakan yang terbaik. Kami yakin di tribun sana orang-orang
yang mendukung kami.
Di posisiku aku
menyempatkan melihat kearah pendukung tim Lofty, aku melihat Kak Haza, Kak
Iffah dan pastinya Kak Luthfi. Kak Iffah didampingi calonnya. Sayangnya, ayah
belum juga datang untuk melihat pertandinganku ini. aku menarik nafas
dalam-dalam berusaha focus. Betapa terkejutnya saat Dhafa memanggilku dengan
keras.
“Aby, lihat di sana.
Saudara kita, teman kita, kawan, sahabat. Radit ada di sini,” menunjuk kearah penonton dengan mata
berbinar-binar.
“Ah apakah benar yang dikatakan oleh Dhafa? Radit ada di sini. Masa sih diakan sedang membantu ayahnya,” aku
mengintruskikan mataku ke arah yang ditunjuk Dhafa.
Radit ada di sana dan
tersenyum kepadaku. Dia bersama adiknya dan ayahnya serta ibunya. Orang yang
aku dan Dhafa telepon semalam yang berada di sebrang Laut Jawa. Sekarang ada di
dalam Stadion Siliwangi ini.
Aku bergegas maju
mengoper bola kepada Kak Rama yang telah menunggu di depan namun karena aku
akan mengira kalau di belakang Kak Rama pasti mengira aku akan mengomper kepada
Kak Rama akhirnya aku terus saja mengiring bola dan aku merasakan di belakangku
ada Kak Harun aku oper kepadanya.
“Ayolah kita pasti
menang.”
Terciptalah gol balasan
oleh Dhafa lewat sundulannya saat corner
kick yang aku tendang. Skor menjadi 3-2. Kurang satu gol lagi untuk menyamakan
kedudukan. Namun, kami malah balik di serang aku pun harus mundur. Bola
ditendang dengan keras menuju ke gawang.
“Waduh Fajar terlalu di
depan posisinya, bola berhasil melewati Fajar,” batinku gelisah.
“Akankah bola itu akan
masuk gawang. Tidak adalagi pemain Lofty di depan mulut gawang. Lihat, Dhafa
berlari ke belakang dan… Dan menggagalkannya. Sayang sekali untuk Tiseja tidak
dapat mencuri gol kembali dari Lofty,” suara cempreng kembali berkomentar.
Begitulah terus jalan
pertandingan final ini begitu menegangkan. Dibabak ke dua ini sudah satu kartu
kuning diberikan kepada Ridho. Ridho harus hati-hati jangan sampai dia mendapat
kartu kuning lagi. Namun, Pak Dary memutuskan untuk menganti Ridho dengan nomer
78. Sekarang kedudukanya seri waktu tinggal
beberapa menit lagi habis. Kak Rama berhasil mencetak gol kedua dari kakinya
pada pertandingan ini. Kami harus dapat mencetak gol.
“Lofty mendapatkan
kesempatan untuk free kick karena
pemain Tiseja melanggar nomer 17. Bagaimanakah bentuk tendangan itu? jarak dari
gawang cukup jauh,” ucap komentator cempreng itu.
“Benar, padahal waktu
sebentar lagi habis. Jika free kick
itu hanya mengoper bola sepertinya waktunya tak cukup.”
Benar saja yang
dikatakan dua komentator itu. Dhafa memandangiku dengan tatapan yang aneh. Dia
memegang pundakku dan mengangguk. Aku menatatap pemain Lofty lainnya dan
semuanya sama seperti Dhafa.
“Lofty percaya sama
kamu By,” ucap Kak Rama.
“Ayo By, kamu sudah
lama mempelajari tendangan jarak jauh seperti ini kan, sekarang waktunya kamu tunjukan,” Dhafa menyemangati.
Memang Dhafa sudah tahu
kalau sejak SD aku mempelajari tendangan jarak jauh ini. Hal yang pertama aku
kagumi dari Tsubasa dengan dropshoot-nya.
Aku memang ingin bisa melakukan tendangan itu. Tokoh-tokoh sepak bola lain pun
menambah motivasiku seperti Eka Ramdani, Atep, Redovic, Suchao. Mereka semua
handal dalam tendangan jarak jauh. Baik saat menuju gawang atau member umpan
yang panjang kepada kawan.
“Aku harus
melakukannya? Mereka semua percaya kepadaku, Pak Dary juga. Aku harus bisa dan
berhasil. Waktu tak lama lagi akan habis. Jika hasilnya seri akan diberi babak
tambahan namun semuanya sudah terlihat lelah. Kalau ada kesempatan untuk menang
mengapa tidak?”
Aku melakukan
ancang-ancang aku tahu semuanya pasti sedang tercengang melihatku. Mereka pasti
ada yang meragukanku, Apakah akan terjadi gol dari jarak yang jauh in? Pak
wasit meniup peluit tanda aku harus menendang kemudian melihat jam tangannya.
“Bola melaju ke depan
dengan sangat keras dan berputar. Berputar dengan sangat cepat. Aku yakin semua
mata tertuju pada bola itu. Bola yang mungil itu. Nomer 17 itu melakukan hal
yang tak biasa. Waktu semakin dekat dengan peluit panjang. Akankah
berhasil?”suara serak terdengar parau di telingaku.
Aku berdoa agar bola
itu masuk menjebol gawang lawan dan kami menang. Aku merasa khawatir ketika
bola yang kutendang sepertinya tidak mengarah ke gawang.
“Itu ketinggian
bolanya. Apa bisa sampai gawang?” batinku frustasi.
“Bola yang tadinya
ketinggian itu melengkung dengan tajam dan berbelok ke arah pojok gawang dengan
cepat dan energi tanpa batas itu. Kiper tak dapat menahan bola itu. Bahkan, tak
bergerak sedikit pun. Gol untuk Lofty,” kata suara cempreng itu.
Aku tidak kuat untuk
berdiri. Lututku menyentuh rumput lapangan. Aku berhasil. Dengan keringat yang
berceceran sujud syukur aku lakukan. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Allah
telah memberikanku sebuah hal yang indah. Tidak sia-sia aku melatih tendangan
jarak jauhku itu. Aku mendengar suara di lapangan bersorak-sorak. Teman-temanku
satu persatu mendekatiku dan memelukku.
Di ruang ganti semuanya
tersenyum bahagia semuanya ada di sini. Semuanya tersenyum dan benar-benar
tersenyum bahagia.
...
Tidak ada komentar