Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » Free Kick to My Andalucia's Promise Chapter 13



Chapter 13

Free Kick Detik Terakhir

author :noname




Pak Dary mengatakan bahwa Lofty kerisis pemain. Mengapa begitu. Yang pertama, Kak Rino harus istirahat. Dia tidak bisa ikut pertandingan final. Sehingga kita kehilangan stiker satu. Kedua, Kak Ian tidak bisa menggantikannya karena tadi baru saja, saat menuju kemari dia kecelakaan motor. Alhamdulilah tidak parah tetapi kakinya diperban. Kalau begitu siapa yang menjamin dia akan ikut final nanti. Kita kehilangan satu stiker lagi. Kak Ian adalah stiker yang bagus juga. Kemudian, karena anggota Lofty yang angkatan kelas dua kebanyakan tidak bisa ikut pertandingan. Sedangkan, angkatanku yang ikut Lofty hanya 12 orang dan hanya Olik yang biasa kejatahan stiker. Dia memutuskan untuk memakai formasi 4-3-3 entah apa yang dipikirkan oleh Pak Dary dia memutuskan hal tersebut. 

“Sebagai center forward adalah Rama. Kemudian sayapnya adalah Aby dan Olik. Aby sayap kiri dan Olik sayap kanan. Ada tiga center midfield mereka adalah Ridho, Dhafa, dan Harun. Nah sebagai dua ful back seperti biasa adalah Toni dan Didi dan dua center bek adalah Dimas dan Adi. Terakhir Fajar sebagai kiper. Semuanya mengerti,”Pak Dary menjelaskannya sambil menatap pemain satu-persatu.

Pak Dary menjelaskan bagaimana skema permainannya. Dia bilang kalau lawan Lofty di final nanti adalah lawan yang sangat tangguh. Mereka tipenya menyerang. Kemarin saat bersamaan dengan pertandingan Lofty vs Tiseja. Tim ini juga bertanding. Hasilnya menakjubkan dengan skor 4-0. Mereka menang telak. Padahal tim yang mereka kalahkan adalah tim yang tangguh juga. Oleh karena itu, Pak Dary selalu bilang yang depan teruslah menyerang yang belakang teruslah bertahan, saling kerjasama dan kompak. Jangan sia-siakan kerjasama.

“Sudah kesepakatan besok kami harus tampil yang terbaik. Oke, harus itu,” tekadku.
.
.
.
Permainan semakin memanas. Dalam pertandingan ini tim kami maupun tim lawan terus saja saling menyerang. Sangat melelahkan harus lari-lari mengejar bola. Bayangkan jika orang-orang yang jarang olahraga. Lari-lari di lapangan bola. Baru lima menit pun sudah kelelahan. Hampir selesai babak pertama. Lofty kalah dua angka. 

“Skor sementara adalah 3-1,”kata komentator yang masih sama suaranya yaitu serak. Pasti orangnya sama.

Ada yang ganjal. Kami kurang kompak. Posisi belakang kewalahan menghadapi pemain lawan yang menyerang. Aku pun juga mundur membantu pertahanan. Lofty kalang kabut. Semua yang dikomando oleh pelatih tampan sia-sia. Pak Dary terus saja berteriak dari pinggir lapangan. Namun, kenyataannya aku lihat kawan-kawanku mulai turun semangatnya apalagi setelah Olik diberi kartu merah. Kami semakin frustasi. Mereka, tim lawan menertawakan kami. Kami sebenarnya emosi sekali.

Ceritanya begini. Saat Olik menggiring bola kemudian bola di rebut oleh pemain nomer 45 dengan kasar hingga Olik terjatuh namun nomer 45 itu hanya diberi peringatan oleh wasit. Itu terjadi diawal waktu permainan. Nah saat itu, keadaan mulai memanas antara Olik dan nomer 45 saling berpandangan membenci dan bernafsu. Nomer 45 itu Rudi. Di sinilah titik permulaan hingga Olik dikeluarkan dari lapangan. Dia merebut bola dengan cara tackling. Menurutku, itu tackling itu bersih tapi Rudi sengaja saja untuk terjatuh dan merasa kesakitan. 

“Ternyata Olik di kartu kuning oleh wasit,”kata komentator yang bersuara cempreng. 

Kami menyesalkan itu. Aku dan Kak Rama  merangkul Olik. Kemudian, teman-teman udi merubungi rudi dan terjadi kerusuhan. Olik dan nomer 45 yang sudah dapat berdiri tiba-tiba saja adu mulut dan saling menabrakan diri mereka. Kami berusaha melerainya.

“Terjadi kerusuhan antara Olik dan Rudi di lapangan. Akankah kartu kuning atau kartu merah akan dikeluarkan oleh wasit? Ternyata wasit mengeluarkan kartu kuning kembali kepada Olik dan juga memberi kartu kuning kepada Rudi. Dengan begitu Olik harus keluar dari lapangan, sayang sekali Lofty kehilangan stiker yang gesit itu,” suara serak terdengar.

Dengan terpaksa, raut muka yang lesu dan masih penuh amarah, Olik keluar dari lapangan. Disertai teriakan tim lawan yang mencerca Olik dan teriakan pendukung kami yang menghibur Olik. Setelah detik inilah semangat kami mulai turun. Saat itu skor masih 1-1. Permainan terus berlanjut tim lawan menyerang dan terperangkap offside.

“Mengapa wasit garis tak mengibarkan bendera dan peluit?” tanyaku pada diri sendiri.

 Kami tersentak kaget dan  berusaha untuk merebut bola namun gagal, gawang kami terjebol untuk ke dua kalinya. Gol ketiga dibentuk oleh pemain punggung nomer 45, Rudi yang menjengkelkan.

Kami diberi intruksi dan motivasi oleh Pak Dary. Olik juga meminta maaf kepada kami karena menurutnya telah mengecewakan kami. Namun kami tidak beranggap begitu. Ini semua sudah terjadi. Kak Harun, aku dan Dhafa mengindikasikan kecurangan wasit. Jelas saja, Kami menduganya tentang kenapa bisa Olik dikeluarkan dan tentang jebakan offside itu. 

“Sudahlah jangan hiraukan masalah itu. Fokus dan semangat, oke! Ingat itu formasinya. Kalian pasti bisa. Baiklah masih ada waktu. Mari kita salat meminta petunjuk Allah,” kata Pak Dary. 

Setelah itu kami siap mengejar ketinggalan gol dan mencetak gol lebih banyak. Jujur aku merasa lebih tenang setelah mengambil air wudhu dan salat. Saat kami akan keluar dari ruang ganti ini, Pak Dary berbicara lagi.

“Oke, lihatlah para pendukung kalian di tribun sana. Mereka mengharapkan yang terbaik untuk kalian. Jangan kecewakan mereka,”  katanya berapi-api.

Aku merasa semuanya menjadi tambah bersemangat. Walaupun begitu, hanya dengan sepuluh pemain. Kami pasti bisa mempersembahakan yang terbaik. Kami yakin di tribun sana orang-orang yang mendukung kami.

Di posisiku aku menyempatkan melihat kearah pendukung tim Lofty, aku melihat Kak Haza, Kak Iffah dan pastinya Kak Luthfi. Kak Iffah didampingi calonnya. Sayangnya, ayah belum juga datang untuk melihat pertandinganku ini. aku menarik nafas dalam-dalam berusaha focus. Betapa terkejutnya saat Dhafa memanggilku dengan keras.

“Aby, lihat di sana. Saudara kita, teman kita, kawan, sahabat. Radit ada di sini,”  menunjuk kearah penonton dengan mata berbinar-binar.

Ah apakah benar yang dikatakan oleh Dhafa? Radit ada di sini. Masa sih diakan sedang membantu ayahnya,” aku mengintruskikan mataku ke arah yang ditunjuk Dhafa.

Radit ada di sana dan tersenyum kepadaku. Dia bersama adiknya dan ayahnya serta ibunya. Orang yang aku dan Dhafa telepon semalam yang berada di sebrang Laut Jawa. Sekarang ada di dalam Stadion Siliwangi ini.

Aku bergegas maju mengoper bola kepada Kak Rama yang telah menunggu di depan namun karena aku akan mengira kalau di belakang Kak Rama pasti mengira aku akan mengomper kepada Kak Rama akhirnya aku terus saja mengiring bola dan aku merasakan di belakangku ada Kak Harun aku oper kepadanya. 

“Ayolah kita pasti menang.”

Terciptalah gol balasan oleh Dhafa lewat sundulannya saat corner kick yang aku tendang. Skor menjadi 3-2. Kurang satu gol lagi untuk menyamakan kedudukan. Namun, kami malah balik di serang aku pun harus mundur. Bola ditendang dengan keras menuju ke gawang. 

“Waduh Fajar terlalu di depan posisinya, bola berhasil melewati Fajar,” batinku gelisah.

“Akankah bola itu akan masuk gawang. Tidak adalagi pemain Lofty di depan mulut gawang. Lihat, Dhafa berlari ke belakang dan… Dan menggagalkannya. Sayang sekali untuk Tiseja tidak dapat mencuri gol kembali dari Lofty,” suara cempreng kembali berkomentar.

Begitulah terus jalan pertandingan final ini begitu menegangkan. Dibabak ke dua ini sudah satu kartu kuning diberikan kepada Ridho. Ridho harus hati-hati jangan sampai dia mendapat kartu kuning lagi. Namun, Pak Dary memutuskan untuk menganti Ridho dengan nomer 78.  Sekarang kedudukanya seri waktu tinggal beberapa menit lagi habis. Kak Rama berhasil mencetak gol kedua dari kakinya pada pertandingan ini. Kami harus dapat mencetak gol.

“Lofty mendapatkan kesempatan untuk free kick karena pemain Tiseja melanggar nomer 17. Bagaimanakah bentuk tendangan itu? jarak dari gawang cukup jauh,” ucap komentator cempreng itu.

“Benar, padahal waktu sebentar lagi habis. Jika free kick itu hanya mengoper bola sepertinya waktunya tak cukup.”

Benar saja yang dikatakan dua komentator itu. Dhafa memandangiku dengan tatapan yang aneh. Dia memegang pundakku dan mengangguk. Aku menatatap pemain Lofty lainnya dan semuanya sama seperti Dhafa.

“Lofty percaya sama kamu By,” ucap Kak Rama.

“Ayo By, kamu sudah lama mempelajari tendangan jarak jauh seperti ini kan, sekarang waktunya kamu tunjukan,” Dhafa menyemangati.

Memang Dhafa sudah tahu kalau sejak SD aku mempelajari tendangan jarak jauh ini. Hal yang pertama aku kagumi dari Tsubasa dengan dropshoot-nya. Aku memang ingin bisa melakukan tendangan itu. Tokoh-tokoh sepak bola lain pun menambah motivasiku seperti Eka Ramdani, Atep, Redovic, Suchao. Mereka semua handal dalam tendangan jarak jauh. Baik saat menuju gawang atau member umpan yang panjang kepada kawan.

“Aku harus melakukannya? Mereka semua percaya kepadaku, Pak Dary juga. Aku harus bisa dan berhasil. Waktu tak lama lagi akan habis. Jika hasilnya seri akan diberi babak tambahan namun semuanya sudah terlihat lelah. Kalau ada kesempatan untuk menang mengapa tidak?”

Aku melakukan ancang-ancang aku tahu semuanya pasti sedang tercengang melihatku. Mereka pasti ada yang meragukanku, Apakah akan terjadi gol dari jarak yang jauh in? Pak wasit meniup peluit tanda aku harus menendang kemudian melihat jam tangannya.

“Bola melaju ke depan dengan sangat keras dan berputar. Berputar dengan sangat cepat. Aku yakin semua mata tertuju pada bola itu. Bola yang mungil itu. Nomer 17 itu melakukan hal yang tak biasa. Waktu semakin dekat dengan peluit panjang. Akankah berhasil?”suara serak terdengar parau di telingaku.

Aku berdoa agar bola itu masuk menjebol gawang lawan dan kami menang. Aku merasa khawatir ketika bola yang kutendang sepertinya tidak mengarah ke gawang. 

“Itu ketinggian bolanya. Apa bisa sampai gawang?” batinku frustasi.

“Bola yang tadinya ketinggian itu melengkung dengan tajam dan berbelok ke arah pojok gawang dengan cepat dan energi tanpa batas itu. Kiper tak dapat menahan bola itu. Bahkan, tak bergerak sedikit pun. Gol untuk Lofty,” kata suara cempreng itu.

Aku tidak kuat untuk berdiri. Lututku menyentuh rumput lapangan. Aku berhasil. Dengan keringat yang berceceran sujud syukur aku lakukan. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Allah telah memberikanku sebuah hal yang indah. Tidak sia-sia aku melatih tendangan jarak jauhku itu. Aku mendengar suara di lapangan bersorak-sorak. Teman-temanku satu persatu mendekatiku dan memelukku.

Di ruang ganti semuanya tersenyum bahagia semuanya ada di sini. Semuanya tersenyum dan benar-benar tersenyum bahagia.
...

Rohis Al-Madinah Planologi Undip

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu