Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » Free Kick to My Andalucia's Promise Chapter 12



Chapter 12

Cinta Untuk Allah

author :noname



“ Kak Rino gimana keadaanya?” tanyaku pada kawan-kawan di ruang ganti.

“ Kata pelatih sih Kak Rino dibawa ke RS untuk di periksa,” jawab Dhafa.

Iya pantas saja Dhafa tahu soal itu. Karena pertandingan ini dia tidak diturunkan. Pertandingan tadi hanya Kak Ian yang diturunkan mengganti posisi Kak Rino diakhir-akhir pertandingan.

“Kira-kira parah tidak iya?” tanya Kak Harun sambil menyeka keringat di wajahnya dengan handuk.

“Semoga saja tidak. Kita juga dapat menang karena dia dilanggar oleh nomer 12,” ujar Kak Ian.

“Iya, syukur banget deh dapat tendangan finalti jadi kita dapat maju ke babak final,”  sahut Ridho.

“Jangan lupakan aku sebagai algojonya yah,”  kata Kak Rama dengan senyum candanya yang dibalas dengan seruan teman-teman.

“Dua hari lagi pertandingan finalnya. Kemungkinan besar Rino tidak dapat ikut dalam final kali ini. Besok kalian harus berkumpul untuk membahas pertandingan final. Tempatnya seperti biasa dan waktunya sepulang sekolah. Sebelum kita pulang memakai bus pastikan kalian sudah melaksanakan salat Dhuhur,” ucap Pak Dary disambut anggukan dari kami semua.

Pak Dary seorang pelatih yang senantiasa mengingatkan kami, para anak asuhnya untuk melaksanakan ibadah. Walaupun begitu, usianya masih muda pelatih sangat disegani oleh kami. Pak Dary juga sedang menjalankan study S2 di ITB . Akan tetapi, dia mau melatih kami, Lofty sejak dua tahun terakhir. Aku juga baru tahu bahwa pelatih adalah seorang bisnisman juga.

Aku lebih memilih untuk pulang bersama Kak Luthfi dan dua sahabatnya. Dhafa yang tahu aku tidak akan pulang naik bus fasilitas memilih pulang bersamaku. Kami berlima naik mobil yang dibawa Kak Haza. Dalam perbincangan itu kami habiskan untuk berbicara.

“Tahu tidak kalau Lofty menang nanti akan diwawancara loh. Masuk televisi,” Dhafa memberitahu.

“Ini anak antusias banget sih kalau mau di wawancara,” batinku.

Semua wanita yang umurnya lebih tua dariku tersenyum geli. Kemudian, dilanjutkan dengan Kak Iffah yang bercerita bahwa sebentar lagi dia akan bertunangan dan dilanjutkan pernikahan. Memang menurutnya nikah muda itu tidak apa-apa kecuali semuanya sudah siap baik fisik, mental juga biaya. Lelaki yang meminang Kak Iffah sudah mapan dan sukses. Dia adalah seorang pengusaha. Aku belum tahu betul apa usahanya. Kak Iffah juga mengungkapkan bahwa calonnya itu adalah teman SMP-nya dulu dan baru bertemu dua bulan yang lalu. Kemudian saling mengenal kembali dan memutuskan untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. 

“Cinta suci semata-mata karena Allah semata. Bukan karena wajahnya yang cantik ataupun tampan, bukan karena kelebihan yang dimiliki ataupun karena uang. Mencintai seseorang secara tulus bukan dari nafsu namun dari hati. Begitu besar makna cinta itu. Dan begitu sulit menjaganya agar tidak terkena virus-virus nafsu,” kata Kak Luthfi.

“Lalu bagimana dengan Kak Luthfi dan Kak Haza, sudahkah mempunyai calon?” selidik Dhafa.

“Benar juga apa yang dikatakan Kak Luthfi dan Dhafa. Aku tidak pernah tahu Kak Luthfi mempunyai teman dekat lelaki,” batinku.

“Kita serahkan saja kepada Allah, agar dipertemukan dengan jodoh kita. Dan berdoa agar jodoh di dunia adalah jodoh di akherat,” jawab Kak Haza.

Kak Luthfi mengganggukan kepala dan mengatakan bahwa cinta itu bukanlah permainan. Dalam Islam tak ada istilah pacaran hanya ada proses ta’aruf. Lebih baik untuk anak seusia aku dan Dhafa menggapai cita-cita terlebih dahulu.

“Aku belum pernah jatuh cinta selama ini. aku hanya pernah mengagumi satu orang anak berjilbab waktu aku ikut TPQ dan itu hanya cinta monyet karena sampai sekarang aku tak pernah bertemu dengannya,” batinku mengingat masa lalu.
.
.
.
Dhafa memutuskan untuk menginap di rumahku. Kak Luthfi sekarang ada di rumah. Dia memasak untuk aku dan Dhafa. Kakak dibantu oleh bibi yang dipekerjakan oleh ayah untuk membereskan rumah. Aku terbangun ketika suara adzan Maghrib berkumandang. Dhafa masih tidur, aku bangunkan dia.dia mengeliat dan membuka matanya. Kemudian aku ajak dia untuk salat Maghrib berjamaah di masjid kompleks rumahku. Tadinya dia sedikit uring-uringan namun akhirnya dia mau juga.

Aku teringat dengan Radit ingin rasanya aku berkomunikasi dengannya. Dia juga orang yang termasuk ikut andil dalam perubahan hidupku. Sehabis salat Isya aku dan Dhafa menelepon Radit.

Aku, Dhafa, dan Radit pengadakan perbincangan. Melepas kerinduan kami saling bercerita. Walaupun begitu, kami terpisahkan oleh jarak rasanya perbincangan ini seperti dekat sekali. Aku rasa Radit ada di depan aku dan Dhafa. Akhi Radit bercerita kalau dirinya sekolah di Samarinda. Dia di sana juga ikut rohis layaknya sekolah di Bandung. Katanya di Bandung dan di Samarinda berbeda. 

Aku menganggap Radit sebagai teman baikku sekarang. Dhafa juga sepertinya juga begitu. Dia sedikit demi sedikit mulai berubah seperti aku. Aku harap begitu. Radit sekarang sedang liburan. 

“Andai saja Radit datang ke Bandung melihat final kami. Namun itu hanya mimpi semata karena pastinya Radit tidak akan ke Bandung dalam waktu dekat ini. Dia bilang liburan kali ini akan membantu ayahnya,” gumamku dalam hati.
...

Rohis Al-Madinah Planologi Undip

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu