Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | Chapter 10 Accusation For Me | Chapter 11 Semi Final | Chapter 12 Cinta untuk Allah | ...
Chapter 12
Cinta Untuk Allah
author :noname
“ Kak Rino gimana
keadaanya?” tanyaku pada kawan-kawan di ruang ganti.
“ Kata pelatih sih Kak Rino dibawa ke RS untuk di
periksa,” jawab Dhafa.
Iya pantas saja Dhafa
tahu soal itu. Karena pertandingan ini dia tidak diturunkan. Pertandingan tadi
hanya Kak Ian yang diturunkan mengganti posisi Kak Rino diakhir-akhir
pertandingan.
“Kira-kira parah tidak iya?”
tanya Kak Harun sambil menyeka keringat di wajahnya dengan handuk.
“Semoga saja tidak.
Kita juga dapat menang karena dia dilanggar oleh nomer 12,” ujar Kak Ian.
“Iya, syukur banget deh
dapat tendangan finalti jadi kita dapat maju ke babak final,” sahut Ridho.
“Jangan lupakan aku
sebagai algojonya yah,” kata Kak Rama dengan senyum candanya yang
dibalas dengan seruan teman-teman.
“Dua hari lagi
pertandingan finalnya. Kemungkinan besar Rino tidak dapat ikut dalam final kali
ini. Besok kalian harus berkumpul untuk membahas pertandingan final. Tempatnya
seperti biasa dan waktunya sepulang sekolah. Sebelum kita pulang memakai bus
pastikan kalian sudah melaksanakan salat Dhuhur,” ucap Pak Dary disambut
anggukan dari kami semua.
Pak Dary seorang
pelatih yang senantiasa mengingatkan kami, para anak asuhnya untuk melaksanakan
ibadah. Walaupun begitu, usianya masih muda pelatih sangat disegani oleh kami.
Pak Dary juga sedang menjalankan study S2 di ITB . Akan tetapi, dia mau melatih
kami, Lofty sejak dua tahun terakhir. Aku juga baru tahu bahwa pelatih adalah
seorang bisnisman juga.
Aku lebih memilih untuk
pulang bersama Kak Luthfi dan dua sahabatnya. Dhafa yang tahu aku tidak akan
pulang naik bus fasilitas memilih pulang bersamaku. Kami berlima naik mobil
yang dibawa Kak Haza. Dalam perbincangan itu kami habiskan untuk berbicara.
“Tahu tidak kalau Lofty
menang nanti akan diwawancara loh.
Masuk televisi,” Dhafa memberitahu.
“Ini anak antusias
banget sih kalau mau di wawancara,”
batinku.
Semua wanita yang
umurnya lebih tua dariku tersenyum geli. Kemudian, dilanjutkan dengan Kak Iffah
yang bercerita bahwa sebentar lagi dia akan bertunangan dan dilanjutkan
pernikahan. Memang menurutnya nikah muda itu tidak apa-apa kecuali semuanya
sudah siap baik fisik, mental juga biaya. Lelaki yang meminang Kak Iffah sudah
mapan dan sukses. Dia adalah seorang pengusaha. Aku belum tahu betul apa
usahanya. Kak Iffah juga mengungkapkan bahwa calonnya itu adalah teman SMP-nya
dulu dan baru bertemu dua bulan yang lalu. Kemudian saling mengenal kembali dan
memutuskan untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi.
“Cinta suci semata-mata
karena Allah semata. Bukan karena wajahnya yang cantik ataupun tampan, bukan
karena kelebihan yang dimiliki ataupun karena uang. Mencintai seseorang secara
tulus bukan dari nafsu namun dari hati. Begitu besar makna cinta itu. Dan
begitu sulit menjaganya agar tidak terkena virus-virus nafsu,” kata Kak Luthfi.
“Lalu bagimana dengan
Kak Luthfi dan Kak Haza, sudahkah mempunyai calon?” selidik Dhafa.
“Benar juga apa yang
dikatakan Kak Luthfi dan Dhafa. Aku tidak pernah tahu Kak Luthfi mempunyai
teman dekat lelaki,” batinku.
“Kita serahkan saja
kepada Allah, agar dipertemukan dengan jodoh kita. Dan berdoa agar jodoh di
dunia adalah jodoh di akherat,” jawab Kak Haza.
Kak Luthfi
mengganggukan kepala dan mengatakan bahwa cinta itu bukanlah permainan. Dalam Islam
tak ada istilah pacaran hanya ada proses ta’aruf. Lebih baik untuk anak seusia
aku dan Dhafa menggapai cita-cita terlebih dahulu.
“Aku belum pernah jatuh
cinta selama ini. aku hanya pernah mengagumi satu orang anak berjilbab waktu
aku ikut TPQ dan itu hanya cinta monyet karena sampai sekarang aku tak pernah
bertemu dengannya,” batinku mengingat masa lalu.
.
.
.
Dhafa memutuskan untuk
menginap di rumahku. Kak Luthfi sekarang ada di rumah. Dia memasak untuk aku
dan Dhafa. Kakak dibantu oleh bibi yang dipekerjakan oleh ayah untuk
membereskan rumah. Aku terbangun ketika suara adzan Maghrib berkumandang. Dhafa
masih tidur, aku bangunkan dia.dia mengeliat dan membuka matanya. Kemudian aku
ajak dia untuk salat Maghrib berjamaah di masjid kompleks rumahku. Tadinya dia
sedikit uring-uringan namun akhirnya dia mau juga.
Aku teringat dengan
Radit ingin rasanya aku berkomunikasi dengannya. Dia juga orang yang termasuk
ikut andil dalam perubahan hidupku. Sehabis salat Isya aku dan Dhafa menelepon
Radit.
Aku, Dhafa, dan Radit
pengadakan perbincangan. Melepas kerinduan kami saling bercerita. Walaupun
begitu, kami terpisahkan oleh jarak rasanya perbincangan ini seperti dekat
sekali. Aku rasa Radit ada di depan aku dan Dhafa. Akhi Radit bercerita kalau
dirinya sekolah di Samarinda. Dia di sana juga ikut rohis layaknya sekolah di Bandung.
Katanya di Bandung dan di Samarinda berbeda.
Aku menganggap Radit
sebagai teman baikku sekarang. Dhafa juga sepertinya juga begitu. Dia sedikit
demi sedikit mulai berubah seperti aku. Aku harap begitu. Radit sekarang sedang
liburan.
“Andai saja Radit
datang ke Bandung melihat final kami. Namun itu hanya mimpi semata karena
pastinya Radit tidak akan ke Bandung dalam waktu dekat ini. Dia bilang liburan
kali ini akan membantu ayahnya,” gumamku dalam hati.
...
Tidak ada komentar