Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » Free Kick to My Andalucia's Promise Chapter 14 [END]



Chapter 14

Tawa, Duka, Harapan, dan Impian

author :noname




Sekarang konferensi pers atau sebutlah wawancara. Kami memakai busana yang resmi. Malam ini pastilah malam diimpikan semua pemain Lofty. Ini siaran langsung untuk daerah Bandung. Pendukung Lofty dan Vitex trifolia juga menyempatkan hadir di kafe EOS yang dijadikan latarnya. 

“Ayah tidak ada di sini. Iya sudahlah mau diapain lagi,” pikirku menghibur.

Ada satu sesi yaitu sesi satu orang untuk berbicara. Kebanyakan kawan-kawanku berbicara tentang terima kasih, impian ke depan dan lainnya. Akan tetapi, ada satu hal yang aku akan bicarakan untuk membantu seseorang. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk melakukan hal tersebut.

“Aku berterima kasih kepada Allah swt atas semua yang telah diberikan. Kawan-kawan Vitex trifolia, Lofty Kak Luthfi dan sahabatnya juga Pak Dary. Ayah yang nun jauh di benua lain. Ibu yang selalu ada di sampingku walau sudah tidak adalagi. Terima kasih karena membuat aku berubah. Juga untuk Dhafa sahabat karibku, Kak Amir sepupuku,dan Radit yang sempat-sempatnya datang melihat final. Juga Pak Tomo, Pak Sutomo yang telah meyakinkanku agar lebih yakin untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Seorang masinis yang telah merasakan di tinggalkan oleh orang tuanya dan adik bungsunya dalam kebakaran. Berpisah dengan adiknya, Sekar yang di boyong paman bibinya di Gorontalo. Sudah lama dia tak berjumpa dengan adiknya itu. Aku mohon bagi yang tahu Sekar atau Sekar itu sendiri sungguh Pak Tomo merindukannya. Dia sangat menyayangi adiknya itu.” 

Semua diam membisu entah mengapa. Kemudian, semuanya bertepuk tangan. Aku lebih tak menduga ketika aku lihat ada seorang kru menangis tersedu-sedu. Aku lihat wajahnya. Tak asing lagi dia adalah Sekar, adik dari Pak Tomo. Akhirnya, aku menemukan dia. Kemudian, oleh sutradaranya dia diizinkan untuk ada dilayar kaca mengucapkan kerinduannya pada kakaknya yang mungkin sedang menonton  siaran ini. Aku yakin Pak Tomo melihat siaran ini. Dia sempat bercerita tentang kebiasaannya sehari-hari.

Aku bertemu dengan Teh Sekar dan memberikannya alamat rumah Pak Tomo. senang sekali dapat membantu orang. Teh Sekar kemudian pamit untuk menemui kakaknya itu. Aku ada di belakang panggung sekarang. Kami, Lofty, berpelukan dengan Pak Dary. Satu persatu  manusia yang aku kenal muncul seperti Radit yang aku peluk kencang saking bahagia dan rindunya. 

Aku bahagia dapat mempertemukan adik kakak itu. Aku jadi tambah sayang kepada Kak Luthfi, kakak perempuanku itu. Dia selalu ada di sampingku seperti ibu. Kak Luthfi dan sahabatnya kemudian datang dengan mata berkaca-kaca. 

“Mereka semua pasti terharu. Kak Luthfi pasti tak menyangka kalau aku sudah berubah. Aku sudah menemukan arti dan tujuan hidup ini. dan Kak Luthfi tidak perlu khawatir lagi dengan diriku ini. Aku akan menggapai impianku itu,” pikirku. 

 “Aby,”  peluk Kak Luthfi dan dia menangis.

Kok menangis sih Kak? Jangan terharu gitu,” kataku sambil tertawa.

Kak Luthfi melepaskan pelukannya. Dan mengusap air matanya. Kak Luthfi kemudian pingsan. Kemudian Kak Luthfi di gotong dan dibaringkan ke sebuah sofa. 

“Apa yang terjadi dan belum aku tahu,” batinku. Kak Haza menyeretku dan membiarkan Kak Iffah dan ibunya Radit yang mengurus Kak Luthfi.

“Aby, kamu harus tegar oke!” kata Kak Haza.

“Ada apa sih sebenarnya?” batinku bertanya-tanya. 

Di sekitarku ada Dhafa, Radit dan kawan-kawan yang juga mendengarkannya mungkin. Padahal, sekarang adalah waktunya untuk berbahagia.

“Ayahmu meninggal.” 

“Ini pasti bercanda. Mereka semua pasti lagi ngerjain aku,” pikirku dan jantungku serasa mau berhenti berdetak ketika mendengar kata-kata itu.
.
.
.
Ayah meninggal karena kecelakaan pesawat Garuda saat pulang dari Mesir ke Indonesia. Pesawat yang ditumpangi ayah mengalami kecelakaan saat landing di Bandara Sokarno-Hatta. Kecelakaan tersebut mengakibatkan api yang meraung-raung. Hampir semua badan pesawat terkepung oleh tentara jingga itu. Ayah memang dapat dievakusi oleh tim penyelamat. Kondisi ayah saat itu sangat memprihatinkan.   Ada luka bakar di bagian-bagian tubuh ayah, ada luka di pipi bagian kanan dan di kedua pipinya. Memang tidak separah korban lain yang sekujur tubuhnya hangus hitam terbakar oleh ganasnya setan merah itu. walaupun begitu, ayah terkena serangan jantung setelah dibawa ke rumah sakit terdekat. Serangan jantung yang mendadak itulah yang menyebabkan kematian ayah. Aku tahu semua itu dari Kak Haza.

Aku menatap lekat wajah ayah untuk terakhir kalinya. Wajahnya memang sudah tak seperti dulu. Putih pucat dan ada bekas luka bakar di pipi kanannya. Kendati begitu, aku dapat melihat pancaran sinar dari wajah itu. Bibirnya tersenyum begitu ikhlas. Aku tahu ayah pasti bahagia dalam tidur panjangnya ini.

Aku sudah lama tidak bertemu dengan ayah. Rasa rindu ini membuatku semakin menyesal mengapa aku telah menyia-nyiakan setiap kata yang terucap dari bibir tipisnya itu. Aku membayangkan hidupku ke depan tanpa seorang ibu maupun ayah. Apakah aku dapat menjalaninya?

Untuk Abyan, anakku, ayah berharap kamu lebih dewasa dan berpikir logis. Seperti yang kamu tahu ayah tak banyak bicara, dan kamu pasti masih ingat pembicaraan kita waktu dulu. Gapailah itu! ayah tak mau mengulanginya lagi. Semua yang kamu harapkan Insya Allah akan tercapai.

            Kalimat terakhir yang ayah tulis untukku sebelum menghadap ke Ramhmatulloh. Aku membacanya dengan mengerutkan kulit di dahiku. Setiap kata yang tertulis aku resapi apa yang dimaksud itu. pembicaran di masa lalu itu. Aku berusaha untuk mengingat pembicaraan yang dimaksud ayah. Penyesalanku terus berlanjut.

            Setelah aku diterima di SMA-ku itu. Ayah pernah mengatakan sesuatu kepadaku. Malam hari yang disertai hujan gerimis ayah mengatakan harapannya untukku di masa depan.

            “Kamu harus menjadi dirimu sendiri. Ayah harap kamu dapat kuliah di ITB seperti kakakmu dan jika bisa mendapat beasiswa ke luar negeri. Mungkin kamu dapat memilih jurusan teknik, FMIPA, atau penerbangan. Anak seperti kamu itu memang harus menjalani hidup sebagai minoritas.”

Dahulu saat aku mendengar kata-kata itu aku hanya mengangguk tanpa memahaminya. Sekarang aku mencoba untuk mencerna lebih dalam kalimat itu. Ayah mengharapka aku dapat masuk ke ITB padahal sesungguhnya dalam hatiku, sudah lama aku menginginkan untuk sekolah sepak bola ke Brazil. Aku memang sudah menabung sejak lama. Niatku ini tak ada yang tahu, hanya aku. Akan tetapi, sepertinya niatku itu aku pendam dalam-dalam. Aku lebih memilih mewujudkan harapan ayah untuk terakhir kalinya. kalau dalam bahasa kerennya menjalani wasiat yang ditulis ayah.

Mengapa aku memilih keputusan itu? Aku mau menjadi anak yang tidak durhaka kepada orang tua. Sudah lama aku menjadi anak yang tidak layak bagi mereka. Sekarang waktunya menebus harapan mereka.

-END-

Rohis Al-Madinah Planologi Undip

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu