Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | Chapter 10 Accusation For Me | Chapter 11 Semi Final | Chapter 12 Cinta untuk Allah | Chapter 13 Free Kick Detik Terakhir | Chapter 14 Tawa, Duka, Harapan, dan Impian
Chapter 14
Tawa, Duka, Harapan, dan Impian
author :noname
Sekarang konferensi
pers atau sebutlah wawancara. Kami memakai busana yang resmi. Malam ini
pastilah malam diimpikan semua pemain Lofty. Ini siaran langsung untuk daerah
Bandung. Pendukung Lofty dan Vitex
trifolia juga menyempatkan hadir di kafe EOS yang dijadikan latarnya.
“Ayah tidak ada di
sini. Iya sudahlah mau diapain lagi,” pikirku menghibur.
Ada satu sesi yaitu
sesi satu orang untuk berbicara. Kebanyakan kawan-kawanku berbicara tentang
terima kasih, impian ke depan dan lainnya. Akan tetapi, ada satu hal yang aku
akan bicarakan untuk membantu seseorang. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk
melakukan hal tersebut.
“Aku berterima kasih
kepada Allah swt atas semua yang telah diberikan. Kawan-kawan Vitex trifolia, Lofty Kak Luthfi dan sahabatnya
juga Pak Dary. Ayah yang nun jauh di benua lain. Ibu yang selalu ada di
sampingku walau sudah tidak adalagi. Terima kasih karena membuat aku berubah.
Juga untuk Dhafa sahabat karibku, Kak Amir sepupuku,dan Radit yang
sempat-sempatnya datang melihat final. Juga Pak Tomo, Pak Sutomo yang telah
meyakinkanku agar lebih yakin untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Seorang masinis
yang telah merasakan di tinggalkan oleh orang tuanya dan adik bungsunya dalam
kebakaran. Berpisah dengan adiknya, Sekar yang di boyong paman bibinya di
Gorontalo. Sudah lama dia tak berjumpa dengan adiknya itu. Aku mohon bagi yang
tahu Sekar atau Sekar itu sendiri sungguh Pak Tomo merindukannya. Dia sangat
menyayangi adiknya itu.”
Semua diam membisu
entah mengapa. Kemudian, semuanya bertepuk tangan. Aku lebih tak menduga ketika
aku lihat ada seorang kru menangis tersedu-sedu. Aku lihat wajahnya. Tak asing
lagi dia adalah Sekar, adik dari Pak Tomo. Akhirnya, aku menemukan dia.
Kemudian, oleh sutradaranya dia diizinkan untuk ada dilayar kaca mengucapkan
kerinduannya pada kakaknya yang mungkin sedang menonton siaran ini. Aku yakin Pak Tomo melihat siaran
ini. Dia sempat bercerita tentang kebiasaannya sehari-hari.
Aku bertemu dengan Teh
Sekar dan memberikannya alamat rumah Pak Tomo. senang sekali dapat membantu
orang. Teh Sekar kemudian pamit untuk menemui kakaknya itu. Aku ada di belakang
panggung sekarang. Kami, Lofty, berpelukan dengan Pak Dary. Satu persatu manusia yang aku kenal muncul seperti Radit
yang aku peluk kencang saking bahagia dan rindunya.
Aku bahagia dapat
mempertemukan adik kakak itu. Aku jadi tambah sayang kepada Kak Luthfi, kakak
perempuanku itu. Dia selalu ada di sampingku seperti ibu. Kak Luthfi dan
sahabatnya kemudian datang dengan mata berkaca-kaca.
“Mereka semua pasti
terharu. Kak Luthfi pasti tak menyangka kalau aku sudah berubah. Aku sudah
menemukan arti dan tujuan hidup ini. dan Kak Luthfi tidak perlu khawatir lagi
dengan diriku ini. Aku akan menggapai impianku itu,” pikirku.
“Aby,”
peluk Kak Luthfi dan dia menangis.
“Kok menangis sih Kak?
Jangan terharu gitu,” kataku sambil tertawa.
Kak Luthfi melepaskan
pelukannya. Dan mengusap air matanya. Kak Luthfi kemudian pingsan. Kemudian Kak
Luthfi di gotong dan dibaringkan ke sebuah sofa.
“Apa yang terjadi dan
belum aku tahu,” batinku. Kak Haza menyeretku dan membiarkan Kak Iffah dan
ibunya Radit yang mengurus Kak Luthfi.
“Aby, kamu harus tegar
oke!” kata Kak Haza.
“Ada apa sih sebenarnya?” batinku bertanya-tanya.
Di sekitarku ada Dhafa,
Radit dan kawan-kawan yang juga mendengarkannya mungkin. Padahal, sekarang
adalah waktunya untuk berbahagia.
“Ayahmu meninggal.”
“Ini pasti bercanda.
Mereka semua pasti lagi ngerjain
aku,” pikirku dan jantungku serasa mau berhenti berdetak ketika mendengar
kata-kata itu.
.
.
.
Ayah meninggal karena
kecelakaan pesawat Garuda saat pulang dari Mesir ke Indonesia. Pesawat yang
ditumpangi ayah mengalami kecelakaan saat landing
di Bandara Sokarno-Hatta. Kecelakaan tersebut mengakibatkan api yang
meraung-raung. Hampir semua badan pesawat terkepung oleh tentara jingga itu.
Ayah memang dapat dievakusi oleh tim penyelamat. Kondisi ayah saat itu sangat
memprihatinkan. Ada luka bakar di
bagian-bagian tubuh ayah, ada luka di pipi bagian kanan dan di kedua pipinya.
Memang tidak separah korban lain yang sekujur tubuhnya hangus hitam terbakar
oleh ganasnya setan merah itu. walaupun begitu, ayah terkena serangan jantung
setelah dibawa ke rumah sakit terdekat. Serangan jantung yang mendadak itulah
yang menyebabkan kematian ayah. Aku tahu semua itu dari Kak Haza.
Aku menatap lekat wajah
ayah untuk terakhir kalinya. Wajahnya memang sudah tak seperti dulu. Putih
pucat dan ada bekas luka bakar di pipi kanannya. Kendati begitu, aku dapat
melihat pancaran sinar dari wajah itu. Bibirnya tersenyum begitu ikhlas. Aku
tahu ayah pasti bahagia dalam tidur panjangnya ini.
Aku sudah lama tidak
bertemu dengan ayah. Rasa rindu ini membuatku semakin menyesal mengapa aku
telah menyia-nyiakan setiap kata yang terucap dari bibir tipisnya itu. Aku
membayangkan hidupku ke depan tanpa seorang ibu maupun ayah. Apakah aku dapat menjalaninya?
Untuk
Abyan, anakku, ayah berharap kamu lebih dewasa dan berpikir logis. Seperti yang
kamu tahu ayah tak banyak bicara, dan kamu pasti masih ingat pembicaraan kita
waktu dulu. Gapailah itu! ayah tak mau mengulanginya lagi. Semua yang kamu
harapkan Insya Allah akan tercapai.
Kalimat terakhir yang ayah tulis
untukku sebelum menghadap ke Ramhmatulloh. Aku membacanya dengan mengerutkan
kulit di dahiku. Setiap kata yang tertulis aku resapi apa yang dimaksud itu.
pembicaran di masa lalu itu. Aku berusaha untuk mengingat pembicaraan yang
dimaksud ayah. Penyesalanku terus berlanjut.
Setelah
aku diterima di SMA-ku itu. Ayah pernah mengatakan sesuatu kepadaku. Malam hari
yang disertai hujan gerimis ayah mengatakan harapannya untukku di masa depan.
“Kamu harus menjadi dirimu sendiri. Ayah
harap kamu dapat kuliah di ITB seperti kakakmu dan jika bisa mendapat beasiswa
ke luar negeri. Mungkin kamu dapat memilih jurusan teknik, FMIPA, atau
penerbangan. Anak seperti kamu itu memang harus menjalani hidup sebagai
minoritas.”
Dahulu
saat aku mendengar kata-kata itu aku hanya mengangguk tanpa memahaminya.
Sekarang aku mencoba untuk mencerna lebih dalam kalimat itu. Ayah mengharapka
aku dapat masuk ke ITB padahal sesungguhnya dalam hatiku, sudah lama aku
menginginkan untuk sekolah sepak bola ke Brazil. Aku memang sudah menabung
sejak lama. Niatku ini tak ada yang tahu, hanya aku. Akan tetapi, sepertinya
niatku itu aku pendam dalam-dalam. Aku lebih memilih mewujudkan harapan ayah
untuk terakhir kalinya. kalau dalam bahasa kerennya menjalani wasiat yang
ditulis ayah.
Mengapa
aku memilih keputusan itu? Aku mau menjadi anak yang tidak durhaka kepada orang
tua. Sudah lama aku menjadi anak yang tidak layak bagi mereka. Sekarang
waktunya menebus harapan mereka.
-END-
Tidak ada komentar