Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | Chapter 10 Accusation For Me |Chapter 11 Semi Final | ...
Chapter 11
Semi Final
author :noname
Merayap ke seluruh
tubuhku. Hangatnya sinar sang mega membuatku tambah semangat menjalani pagi
ini. Luar biasa. Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran di samping rumahku.
Embun-embun menetes dari pucuk daun membawa kesejukan tersendiri. Kicau burung
menghiasi pagi ini. Namun suara deru kendaraan bermesin membuat semua itu
menjadi kurang sempurna. Jelas saja di kota ini, kebanyakan memakai kendaraan
yang bermesin termasuk juga aku. Sebenarnya hobiku juga ada yang lain yaitu
balap sepeda. Itu hobi masa kecilku. Sepeda itu terbengkalai di garasi.
“Ingin aku balapan
sepeda lagi, hahaha,” batinku.
Hari ini hari minggu,
hari libur. Akan tetapi tahukah teman, hari ini adalah hari yang berbeda dari biasanya.
Hari ini adalah hari semi final Merah Putih Cup dan Lofty ada di dalamnya.
Lofty akan bertanding. Yang menjadikanku lebih bersemangat adalah karena aku
akan menjadi tim inti pada pertandingan ini. Pertandingan-pertandingan
sebelumnya aku hanya dimainkan di babak pertama ataupun babak kedua. Menurut
pelatih, Pak Dary permainanku pada kesempatan sebelumnya bagus dan menarik
sehingga dia percaya aku dapat menjalankan amanat ini. Kak Luthfi menonton
pertandinganku. Baru kali ini Kak Luthfi ada waktu untuk melihatku bertanding
selama Merah Putih Cup dibuka. Cukup menghibur diriku karena ayah belum juga pulang.
Sejujurnya dalam
hatiku, yang aku inginkan adalah ayah ada di bangku penonton dan
menyemanagatiku. Aku ingin mendengar suara ayah memberi semangat kepadaku.
Sejak aku lahir dan sejak aku ikut pertandingan sepak bola di SD maupun di SMP.
Ayah hanya pernah datang tiga kali dalam semua pertandingan yang aku jalani.
Padahal jika dihitung-hitung, pertandinganku selama ini lebih dari 20 kali
petandingan. Ayah memang super sibuk. Dalam tiga kali itu juga aku tidak pernah
mendengar suara ayah menyemangatiku seperti orang tua lainya. Ayah hanya
memandangiku tanpa ekspresi. Ibulah yang setia mendampingiku di setiap
pertandinganku selama ini. Ibulah yang menyemagatiku. Yang membawakanku handuk
dan air minum. Namun sekarang tidak lagi. Ibu sudah pergi dengan sejuta harapan
untuk diriku.
Aku melihat di bangku
penonton ada Kak Luthfi dan kedua sahabatnya. Aku juga melihat alumnus Lofty
dan Vitex trifolia. Dan tidak
ketinggalan adalah pendukung dari SMA-ku.
Peluit berbunyi. Tim
sepakbola SMA-ku yaitu Lofty melawan tim SMA N 23 Jaya yang tim sepak bolanya
bernama Tiseja, Tim Sepak Bola Jaya. Aku ada di posisi gelandang serang. Kaos
yang kupakai bernomer punggung 17, Lofty memakai kaos warna biru dan putih
sedangkan tim lawan memakai kaos berwarna merah-merah. Tim kami memakai pola
4-4-2 atau kata orang-orang disebut formasi defalut
winning eleven, menurutku ini lebih efektif dibandingkan dengan formasi
4-4-2 clasic yang dimainkan oleh
Lofty dalam pertandingan sebelumnya.
“Walaupun begitu, Lofty
menang dalam pertandingan terakhir ini bagian depan lini kurang bagus dan mesti
diperbaiki. Kurang efektifnya stiker yang berebut bola. Lini tengah bingung
akan mengoper kepada siapa di antara dua ini,” kata Pak Dary.
Itu terbukti
kelemahannya pada Fabio Capalleo yang gagal dalam penerapan formasi ini hingga
team inggris tersisih dari world cup
2010. Pelatih tidak mau kalau kita bernasib seperti itu ketika ada indikasi
perebutan bola antar stiker yaitu Kak Rino dan Kak Rama. Nah formasi 4-4-2 yang
winning eleven inilah sebagai formasi
baru di tim Lofty ini. Lebih efektif dari yang sebelumnya karena hanya ada satu
center forward dan ada satu hole, hole ini yang mengecoh bek lawan dan memberi umpan pada center forward atau juga disebut target man.
Kali ini yang menjadi target man-nya adalah Kak Rino sedangkan
pemain lubangnya adalah Kak Rama. Ada dua side
midfield yang juga dapat mengumpan langsung bola kepada Kak Rino. Aku dan
Ridho adalah side midfield. Di antara aku dan Ridho tapi agak ke belakang
ada dua center midfield. Dhafa dan
Kak Harun adalah center midfield yang
bertugas memotong dan menjaga dataran tengah untuk permainan. Lainnya sebagai
dua full back dan center back yang fokus mempertahankan
namun acap kali juga dapat mengheading bola ketika corner kick seperti yang biasa dilakukan oleh Nova Arianto ataupun
Abanda Herman.
Pertandingan terus
berlanjut seperti hidup yang terus berlanjut. Bola berlari melayang ke mana- mana
yang dia sukai. Berpindah dari satu kaki ke kaki lainnya. Dari dahi ke kaki.
Melayang jauh di udara. Bola terus saja berputar tanpa hentinya. Tak merasa
sakit ditendang begitu kerasnya oleh ke dua puluh dua pemain yang ada dalam
lapangan yang berukuran panjang sekitar
100-110 cm dan lebar 64-75 cm.
“Ya pemirsa sekarang
pada menit ke 79, bola ada dalam kuasa kaki pemain Lofty dengan nomer punggung
17, Siapa nama anak itu, Ron?” kata komentator yang ada di lapangan.
“ Dia bernama Abyan Nurnazhif, kelas sepuluh.
Lihatlah, sekarang dia berlari mencari kawan yang akan dia beri umpan bola.”
“Siapakah yang akan dia
beri umpan? Padahal Rino dan Rama sedang dijaga ketat oleh tim Tiseja. Apa yang
akan dia lakukan, Pemirsa?”
Suara komentator masih
terdengar olehku. Mereka menebak-nebak bola ini akan diberi kepada siapa. Aku
tendang kearah Ridho yang terbebas dari jangkauan lawan. Aku dan Ridho saling
memberi umpan.
“Ternyata Nazhif
memberi umpan kepada Ridho. Sekarang mereka, nomer 17 dan 9 saling member
umpan. Apakah ini akan tejadi sebuah gol? Lihatlah sekarang nomer 9 telah
terkepung. Akan dioper kemana bola itu?”
“Ternyata kepada Rino
nomer 10 bola dioper, dan melewati satu bek, bukan dua bek, tiga bek. Sekarang
sudah berada di mulut gawang. Dan…?”
“Sayang Rino terkepung
kembali. Bola dioper kepada Nazhif dan dioper kembali kepada, kepada siapa?”
“Kepada Rama nomer 45,
Rama siap menendang dan apakah terjadi gol?”
“Subhanalloh tendangan
yang sungguh kencang akankah bola itu akan menjadi angka pertama bagi Lofty?”
“Ya Allah, biarkan bola
itu masuk. Ayolah bola masuk ke gawang itu,” pintaku dalam hati.
“Sayang sekali, bola ditinju
oleh kiper, sekarang bola bebas dan jatuh pada kaki Rino namun apa yang
terjadi? bola di rebut oleh nomer 12 dari Tiseja. Rino terkapar,” suara serak
dari komentator terdengar kembali.
Namun, sangat tak
terduga lawan yang bernomer punggung 12 mencuri bola dengan cara mentecking dan
terkena kaki Kak Rino hingga tak mempunyai keseimbangan badan terjatuh.
“Tacking yang salah,” batinku dalam hati.
Kak Rino terkapar di
atas hijaunya rumput Stadion Siliwangi tempat diadakannya pertandingan semi
final. Aku yakin Kak Rino kesakitan dari raut mukanya. Medis dari Lofty datang
dan memberi P3K kepadanya.
“ Ternyata wasit memberi kartu kuning untuk Reza nomer
12 dan hadiah tendangan finalti bagi Lofty. Akankah ini akan menjadi gol?”
komentator yang bersuara cempreng berbicara.
Wasit tahu bahwa itu tacking yang tidak bersih
dan sangat berbahaya, dan juga TKP-nya di dalam kotak 16. Sementara, Kak Rino
dibawa keluar lapangan dengan tandu. Kak Rama bersiap untuk tendangan
finaltinya. Teman-teman Lofty memberi dukungan. Suporter di stadion
berteriak-teriak memekik gendang telinga.
Tiupan peluit yang
menadakan tendangan finalti segera harus ditendang. Kak Rama bersiap dan
menendang. Ritual yang dilakukankan Kak Rama sebelum menendang adalah mencium
bolanya. Katanya dia bola adalah teman. Persis yang Tsubasa ucapkan pada satu
tim Nankatsu.
“Goooooooooooooooool!
Ternyata Rama telah berhasil dengan gol finaltinya. Kedudukan menjadi 1-0,
Lofty unggul sementara dari Tiseja,” suara serak muncul kembali.
Riuh seketika, para
pendukung Lofty menyambut dengan suka cita gol itu. Kami buru-buru merangkul
Kak Rama. Akhirnya, kami dapat mencuri satu gol dari tim lawan walaupun lewat
tendangan finalti dengan algojonya adalah Kak Rama. Tendangannya keren sekali.
Walaupun begitu, sebenarnya tidak terlalu keras namun berhasil mengecoh kiper
lawan. Bola berbelok ke sudut gawang dan terciptalah gol. Kiper tak sanggup
mengejarnya.
Dari pinggir lapangan
Kak Rino tersenyum dan bertepuk tangan melihat kami. Kami tambah bersemangat.
Sejak kick off babak pertama dan
babak kedua baru kali ini kami, Lofty dapat mencetak gol. Kedudukan satu kosong.
“Akankah Tiseja akan
membalas gol itu untuk menyeimbangkan kedudukan? Padahal waktu terus berlanjut.
Dapatkah Tiseja menciptakan gol?” suara cempreng terdengar pula.
Masih berlanjut.
Sebentar lagi pertandingan akan usai. Akan tetapi, perlu juga mempertahankan
kedudukan jangan sampai gawang Lofty kejebolan. Jangan dan jangan sampai. Tim
lawan balas menyerang dan diberi kesempatan untuk free kick.
“Ini kesempatan mereka
untuk menyamakan kedudukan. Lihat apakah akan terjadi gol?” teriak komentator
serak itu.
Aku menjaga lawan yang bernomer 34, dia sangat
lincah, dan menurutku sedikit kasar. Sampai-sampai aku disikut olehnya juga
kakiku di genjat olehnya.
“Huft!”
Tendangan dilakukan namun syukurlah, tendangan
melenceng jauh ke luar lapangan. Dan peliut panjang pun ditiup oleh wasit.
Syukurlah kami dapat memenangkan pertandingan ini walaupun dengan sekor yang
tipis dan itu juga dari tendangan finalti.
“Syukurilah
apa yang ada. Itu semua nikmat yang indah, Aby.”
...
Tidak ada komentar