Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | Chapter 10 Accusation For Me | ...
Chapter 10
Accusation For Me
author :noname
Mentari merangkak
secara terang-terangan untuk mencapai puncak. Burung-burung terbang dengan
kehendak hatinya mencari makan, ataupun bersenandung. Pohon-pohon
melambai-lambai terbawa angin yang menari-nari. Awan-awan berarak-arak dan
mengubah-ubah wujudnya. Seperti aku yang berlari-lari di dalam lapangan sepak
bola. Tendang sini tendang sana. Umpan sini umpan sana. Berlari dan berlari.
Terus dan terus.
Sudah seminggu sejak
aku pergi ke Kebumen. Aktivitasku kebanyakan ada di lapangan bola. Latihan
bersama untuk menghadapi Merah Putih Cup. Sebenarnya sempat ada perselisihan
antara aku dan Kak Harun. Dia marah kepadaku karena aku tidak bisa ikut bersama
mereka melihat secara langsung dan menyuportrin. Dia marah karena aku memilih
liburan ke Kebumen. Dia pokoknya marah padaku. Aku juga sempat di sidang oleh
Kak Harun, Kak Rino, dan yang lainnya. Saat gerimis datang dan hawa dingin
menyebar. Aku ditanyai oleh mereka semua. Aku sebenarnya bingung harus
mengatakan apa dan bagaimana. Masa aku harus mengatakan yang sebenarnya terjadi
bahwa aku sedang mencari rasa yakin dalam diriku merasa yakin untuk mengubah
perilaku burukku ini. Aku sungguh dilema.
“Apa kata teman-temanku
kalau mereka tahu yang sesungguhnya. Bagaimana bisa? Aku tidak sanggup
membayangkannya. Sungguh.”
Mungkin mereka
merasakan kecewa karena hasil pertandinganya seri atau gimana aku tidak tahu,
yang jelas mereka semua kelihatan begitu marah dan aneh. Mereka terus saja
memojokanku, termasuk juga Dhafa. Sebenarnya ada apa ini. Mereka momojokanku
dengan dugaan-dugaan yang mereka buat.
Ke
mana saja kau By?
Kamu
tidak mau gabung sama kita-kita lagi By?
Egois
banget sih By.
Dasar
rese,
Mengutamakan
kepentingan pribadi tidak solidaritas.
Membosankan.
Sok
jago.
Dugaan dan
pernyataan-pernyatan seperti itu yang terus saja mereka lemparkan kepadaku.
Hingga aku tidak sanggup menangkap semuanya. Telinga aku panas, dahiku
berkeringat, dan kakiku gemetar. Sebenarnya situasinya tidak begitu mencekam
tetapi aku saja yang seperti ini, kebingungan.
Benar-benar aku terjepit.
Sepertinya cicak-cicak di pojok dinding juga membicarakanku, pikirku sudah
tidak masuk akal. Hingga akhirnya aku beranikan diri untuk mengatakan semuanya.
Semuanya sampai tuntas. Tidak ada yang tersisa. Tentang apa yang aku rasakan.
Tentang bagaimana kejadian di kereta. Bagaiman aku bertemu dengan Pak Tomo.
Bagaimana aku mau berubah? Ada apa di Pantai Petanahan dan juga saat aku berada
di teras samping rumah Kak Amir. tidak lupa bingkisan yang diberikan oleh Radit
sebelum dia pergi ke Kalimantan. Juga tentang Andalusia, tentang harapan
almarhum ibu. Saat aku bercerita tak seorang pun menyelanya. Hanya hujan
rintik-rintik yang memberi suaranya, memberi nuansa musik dalam story telling-ku.
.
.
.
Ayah belum pulang dari
pekerjaan dinas ke luar negeri, Mesir. Ayah juga belum juga menelponku, setelah
terakhir menelpon saat aku sampai ke rumah dari perjalanan Kebumen-Bandung. Kak
Luthfi menyuruhku pulang untuk meminta bantuanku dalam mengerjakan tugas
kuliahnya. Padahal aku malas membantunya. Maaf saja, aku di suruh mencari
tanaman obat yang namanya apa, aku juga lupa. Syukur saja aku tidak jadi
mencari tanaman obat itu karena ternyata tanaman obat itu udah ada di halaman
rumah, terbengkalai di sana. Sendirian.
.
.
.
Semenjak aku temukan
keyakinan dalam diriku, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupanku. Dari semuanya. Semuanya. Syukurku kepada Allah swt yang telah
memberiku cahaya dan petunjuk untuk kembali ke jalan yang Allah kehendaki.
Ibu,
Makhluk
Allah yang sempurna.
Pancaran
sinar mata itu.
Bagai
sungai jernih dalam lautan.
Mengisyaratkan
sebuah masa depan.
Harapan
itu.
Janji
itu.
Malam ini, sekitar
pukul 02.30 WIB, aku mengambil air wudhu dan melaksanakan salat tahajud. Aku di
rumah sendirian. Kak Luthfi menginap di rumah Kak Haza yang dekat di kampusnya.
Biasalah masalah tugas kampus.
Di sebuah ruangan yang
di di setiap sudut ruangannya dihiasi dengan lukisan-lukisan kaligrafi yang
indah dan penuh daya imajinasi. Ayat-ayat Al-Qur’an tergores dengan penuh
perasaan dari Sang Pelukis. Indah. Ada rak sedang yang berisikan Al-Qur’an dan
buku-buku islami. Kebanyakan buku itu adalah buku yang ibu, Kak Luthfi dan
tentunya Ayah. Ada lima sadjadah dan tiga rukuh di rak itu. Ada juga sarung.
Ruangan ini adalah ruangan tempat salat di rumahku. Sudah lama aku tidak
memasuki ruangan ini. Biasanya setelah menambil air wudhu langsung pergi ke
kamar dan melaksanakan salat di sana. Sekarang berbeda. Setelah bangun aku
ingin sekali salat di ruangan ini. Ruangan favorit ibu yang dengan kebiasaannya
membaca buku di samping jendela. Tentu saja buku islami.
...
Tidak ada komentar