Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | Chapter 9 Kebumen Berkata | ...
Chapter 9
Kebumen Berkata
author :noname
Kota di ujung selatan
Pulau Jawa ini. Memang belum cukup terkenal. Kak Amir mengajakku ke Laut
Petanahan. Laut lepas ke Samudra Hindia. Dengan memakai sepeda motor, kami
melaju. Masih pagi, suhu udara juga masih dingin. Apalagi dengan naik motor.
Aku tidak terlalu hafal jalan yang aku dan Kak Amir lalui, namun kita menembus
batas kota menuju Kebumen, pastinya. Akan tetapi, dugaanku salah. Kak Amir
mengatakan kepadaku, kita tidak akan melewati pusat kota sebenarnya tetapi
hanya lewat dipinggir-pinggirnya. Aku tertawa saat Kak Amir menjelaskannya.
Kita melewati terminal bus Kebumen, menurutku sangat kecil dan sepi. Terletak
di pinggir Jalan Raya Lingkar Selatan dan bersebrangan dengan persawahan. Masih
jarang rumah yang ada di sekitar terminal. Hanya saja beberapa meter dari
terminal kita dapat menemukan perumahan Jatisari yang katanya belum lama di
bangun.
Pantai petanahan yang
berpasir hitam, belum banyak orang yang berkunjung. Ombak-ombak sudah
meraung-raung memintaku untuk menyentuh air asin itu. Sudah lama aku tidak
berekreasi ataupun berkunjung ke sebuah pantai.
“Aby, kamu mau cerita
apa? Ayo bilang ke Kak Amir,” ucap Kak Amir melihat tanpa batas ujung laut.
Kak Amir memang orangnya to the point. Orangnya juga cekatan dan sangat penyabar.
“Tahulah, ngapain kamu jauh-jauh ke sini dalam
waktu tiga hari kalau ini tidak sangat penting bagimu. Aku tahu, kalau ini
tidak penting bagimu pasti kamu sudah ada di Surabaya bersama para sahabat
Viking dan Bonek melihat pertandingan Persib melawan Persebaya. Ayo ngaku,” Kak
Amir menjelaskan hipotesisnya yang jelas saja betul.
“Benar baget hipotesis
Kak Amir. Memang Kak Amir selalu dapat membuat hipotesis yang tepat,” jawabku.
“Iyalah, itu juga
karena Kak Luthfi, kakakmu menelpon Kak Amir,”
jawab Kak Amir.
“Loh kok bisa. Kenapa tadi Kak Amir seperti
kaget lihat aku ada di depan pintu rumah kakak,” kataku yang tidak percaya bahwa Kak Luthfi
menelpon Kak Amir.
“Nih anak rese baget sih. Hati kamu belum peka yah,
By. Udah berapa tahun kamu hidup dengan Kak Luthfi, kakakmu itu. Dia sayang
banget sama kamu. Dia pasti mengkhawatirkanmu. Malahan, disetiap tindakanmu Kak
Luthfi selalu khawatir,” kata Kak Amir yang kemudian menepuk pundakku.
Kata-kata Kak Amir
membuatku menelan ludah. Aku seperti tercekik. Kak Luthfi orang yang selalu
khawatir. Perempuan yang tersisa yang mewarnai hidupku ini.
“Iya iya, memang Kak
Luthfi sayang sama akulah,” kataku membela.
“Itu sudah pasti, Bro. Dengar yah, Kak Luthfi menelpon Kak Amir setelah dia menelponmu. Dia
bilang bahwa kamu akan datang ke rumahku. Dia mengungkapkan kekhawatirannya
yang katanya kamu itu tidak kayak biasanya. Dia tidak mengira kalau kamu akan
pergi ke rumahku. Dia melihat jadwal Persib tanding di Surabaya. Dari situ aku
tahu ada masalah yang penting yang ada dalam dirimu. Ayo kenapa?” Kak Amir
bertanya.
“Aku belum sanggup
hidup tanpa ibu. Aku rindu dengan senyumnya. Aku seperti orang yang
kebingungan. Aku seperti orang gila.”
“Pikir dong By, kamu itu sudah bukan anak kecil lagi. Kamu udah SMA,
hidupmu masih berlanjut. Masih panjang.”
Aku memang tidak tahu
apa yang harus aku katakan kepada Kak Amir. aku juga bingung dengan diriku ini.
Begitu susah aku memahami diriku sendiri. Aku memandangi lautan luas di tatapan
mataku. Sungguh indah pantai ini. Biru, lautan biru. Namun sebenarnya aku sudah
sadar bahwa akulah yang salah. Aku hanya tergantung dengan keadaan. Aku tidak
mau merubah keadaan. Walaupun begitu, aku mengerti namun aku bisa mengatakannya
kepada Kak Amir. begitu egosinya aku.
Kulihat seekor burung
terbang bersama burung lainnya. Mungkin itu keluarganya. Indahnya hidup burung
itu. Ayah, dia begitu pendiam, sudah beberapa kali aku menyebutkan watak ayahku
ini pada kalian. Begitu pendiammya, sampai aku tidak bisa mengetahuinya lebih
dalam. Dari aku lahir sampai aku usiaku sekarang. Air mukanya datar-datar saja.
Aku tidak tahu ayah merasa senang, sedih, marah ataupun apa. Datar dan hambar.
Selama waktu di Pantai
Petanahan, kami habiskan dengan saling diam-diaman. Kita sama-sama melihat ke
depan. Yah ke depan. Masa depan telah
menantimu kawan. Bersiaplah, buatlah perubahan.”
.
.
.
Aku tidak jadi ke Lipi
Karang Sambung, Paman Li dan Bibi La tidak mengizinkan aku dan Kak Amir untuk
ke sana. Padahal aku sangat ingin kesana. Melihat bukit-bukit yang dihiasi
batuan yang unik dan luar biasa. Menjelajahi hutan pinus yang saling berlomba
untuk lebih tinggi. Dengan strobilus yang berjatuhan. Menyusuri Sungai Lukulo
dan menambang pasir. Melihat batuan pilo di tepi Sungai Lukulo. Melihat batu
rijang yang super besar dan megah. Tentunya langka. Karang sambung yang dulunya
lautan dan kini menjadi daratan yang dihiasi dengan batuan-batuan yang langka.
Menuju Gunung Paras sampai ke puncak dan melihat lautan Samudra Hindia yang
berwarna biru. Dengan orang-orang yang ramah dan sopan, jalan yang sempit.
Namun, itulah yang sebenarnya aku mau. Aku mau bersama alam, berpetualang
dengan mereka, bersama-sama. Mensyukuri nikmati dan rahmat Allah. Rihlah kata
Kak Amir. apalah namanya, aku semakin ingin meyakinkan tekadku. Perubahan yang
aku mau perubahan yang semakin baik, membahagiakan orang-orang di sekitarku dan
juga Islam dan Indonesia.
Kak Amir meninggalkanku
untuk pergi bertemu dosennya karena ada urusan tertentu setelah kami pulang
dari Pantai Petanahan itu. Di rumah aku ditemani Bibi La dan Fahran. Bibi La
sedang menyiapkan makanan untuk makan siang. Aku ada di teras samping rumah.
Melihat suasana menjelang siang ini, pukul sebelas pagi, kamar mandi rumah Kak
Amir ada di luar dan masih memakai yang namanya sumur, jarang di kota besar
seperti Bandung mengggunkan itu, di depan aku duduk ada halaman rumah Kak Amir
yang sudah di semen, banyak anak-anak sekitarnya bermain di sini. Ada yang
bermain loncat tali, petak umpet, dan sepeda-sepedaan serta bermain bola.
Termasuk juga Fahran. Dia sedang bermain bola dengan teman-temannya. Aku dengar
senandung mereka dan air muka mereka, senang dan terseyum. Mereka menikmati
permainan yang mereka buat sendiri. Aku juga mendengar pembicaraan mereka yang
sedang bermain bola karena aku tertarik pada bola. Apa sih yang dilakukan anak-anak kecil yang hidup di desa dengan yang
namanya bola? Aku sungguh tersentak mendengar pembicaran mereka.
“Viking Bonek itu
sahabat, kalau The jak vs Viking sedangkan Bonek vs Aremania,” kata salah seorang anak yang memakai baju
hitam dengan nada keras.
“Nih lihat kaosku, aku Aremania, di sini ada tanda silang bagi
Bonek,” kata anak yang memakai kaos aremania dan memperlihatkan sablonan itu.
“Kalau punyaku Persija,
loyalitas tanpa batas The Jak,”
memperlihatkan sablonan yang berwarna jingga itu kepada teman-temannya.
“Udahlah semua sama
ajalah. Ayolah bermain,” kata Fahran yang sepertinya tidak sabar untuk
menendang bola lagi.
Mereka masih saja
mengeluarkan argumen yang mereka tahu. Mereka anak kecil saling
menjelek-jelekan suporter lain. Aku tahu mereka sebenarnya tidak tahu
permasalahan yang sebenarnya. Aku tersentak mendengar argumen-argumen mereka.
“Apakah sampai ke
desa-desa begini?” tanyaku kepada diri sendiri.
Aku berdiri dan masuk
dalam pembicaran mereka mengatakan apa yang aku tahu. Kukatakan pada mereka
bahwa semua suprter itu teman. Permusuhan antar suporter itu tidak harus
dicontoh. Bagaimana jika semua suporter bermusuhan dan timnas Indonesia akan
tanding? Perlu kesatuan suporter kan?
Aku ajak mereka untuk
bermain sepak bola. Aku ajarkan pada mereka teknik-teknik sepak bola yang
menurutku mereka sanggup untuk menguasainya. Semua mata berbinar-binar ketika
kukatakan akan mengajari mereka. Aku lebih suka situasi ini daripada yang tadi.
Aku bermain bersama anak-anak desa ini. Melepas kerinduan bermain sepak bola di
Bandung. hebat juga anak-anak desa ini. Mereka pasti akan menjadi pemain-pemain
sepak bola yang hebat, seperti yang pemain sepak bola yang mereka sukai sebagai
motivasi.
Berlari, berlari,
tendang dan gol. Semuanya tertawa ketika aku menendang bola plastik dan bola
tersebut ternyata nyangkut di atap rumah.
Aku sempat bingung dibuat merek karena mereka malah berlari. Senangnya
hatiku saat tahu apa yang mereka bawa bersama-sama adalah tangga. Mereka
meminjamnya dari sebuah rumah yang ada di sekitar sini. Mereka menggotongnya
bersama-sama dengan meneriakan sebuah kalimat dengan keras dan bersemangat.
Sungguh luar biasa anak-anak desa ini. Semua yang ada di halaman semuanya
meneriakan kata setuju.
“
INDONESIA ANTI ANARKIS SEMUANYA CINTA DAMAI”
.
.
.
Hidup.
Tak
selamanya tersenyum, kadang harus beredih.
Akan
tetapi,
Kesedihan
itu membuat energi yang tiada batas untuk,
Bangkit.
Hidup.
Mengarungi
lautan mencari sebuah pelajaran.
Menyelami
samudra mendalami arti hidup.
Berjuang
untuk berubah.
Lebih
baik, lebih baik dan lebih baik lagi.
Tak
perlu menjadi matahari ataupun bintang lainnya.
Cukup
menjadi diri sendiri namun,
Lebih
baik untuk semua.
Semua penghuni rumah
menonton televisi yang menyiarkan secara langsung pertandingan sepak bola
antara Persebaya dan Persib. Dua klub yang besar di Indonesia dengan suporter
yang besar juga. Pertandingan diadakan di Stadion 10 November. Stadion yang
terletak di Desa Tambak Sari. Stadion kebanggan warga Surabaya. Aku
membayangkan jika aku berada di sana. Pastinya
dengan teman-temanku. Melihat Persib sedang bertanding. Juga bertemu dengan
sahabat Bonek di sana.
Kulihat di layar
televisi, stadion itu dipenuhi dengan hijau dan biru seperti pulau-pulau yang
ada di lautan. Bersorak-sorak ramai, menyuarakan yel-yel yang membuatnya
semakin bersemangat. Tanpa henti-hentinya, tanpa lelah-lelahnya mereka terus
bersuara. Ada juga yang memimpin semuanya di masing-masing tribun dengan
membawa megafon sebagai pengeras suara. Para suporter banayk yang mengibakan
kain yang bertuliskan Bonek-Viking, Viking-Bonek ataupun sebangsa itu. Ada juga
yang memperlihatkan syalnya. Sampai-sampai ada yang mengecat setengah badannya
dengan cat berwarna hijau dan biru. Antusias sekali. Semuanya.
Dari orang dewasa
sampai anak kecil, laki-laki ataupun perempuan semuanya tumpah ruah di setiap
tribun, tak ada satu pun tempat duduk yang kosong di stadion itu. Malahan
berdesak-desakan. Aku yakin dan seyakin-yakinnya, pasti ada Viking Bonek yang
tidak dapat masuk ke stadion karena tidak dapat tempat duduk. Mereka di luar
stadion dan nonton bersama di layar yang besar itu. Biasanya begitu. Semuanya
tertuju pada televisi yang berukuran 21 inchi itu. Kick off babak pertama akan di mulai. Dan prittt, permainan di
mulai dan gelap.
“Mati lampu,” teriak Farhan.
“Yah!” kata semua yang sedang menonton.
Mati lampunya kok sekarang sih. Tidak tahu apa ada pertandingan sepak bola big match.
Padahal belum ada satu menit pertandingan berjalan. Kalau mati lampu iya
pastinya semua keadaan gelap gulita. Ada rasa sebal dalam hatiku, jengkel.
Ada secercah cahaya
tepatnya cahanya sentir, yang terbuat dari botol kaca yang diisi minyak tanah
dan dipasang sumbu. Paman Li memegangnya, dan menghela nafas. Dalam ruangan
yang hanya diterangi dengan cahaya sentir itu, sebelum Kak Amir membawa lampu
emergensi ke tengah-tengah kami.
“Hore ada lampu juga
akhirnya,” kata fahran.
“Yeyeyeye,” sambung Lulu.
“Maaf By, kita tidak
bisa lihat pertandingan itu. Laptopku juga udah mati. Tadi aku lupa tidak ngisi baterainya,” kata Kak Amir yang terlihat merasa bersalah.
“Tidak apa-apa kok,”
kataku meghibur diriku dan Kak Amir.
.
.
.
Hanya sehari aku ke
Kebumen, hanya sehari rasanya tidak puas banget. Bagaimana pun aku harus
kembali ke Bandung. Kak Luthfi sudah menelponku sejak tadi subuh, aku harus
pulang dan tiada alasan untukku menolak. Selain itu, teman-teman Lofty juga
sudah mulai latihan hari ini. Dan aku harus segera kembali dan kembali.
Berat juga berpisah
dengan keluarga Kak Amir, saudara terdekatku ini. mereka terlihat sedih ketika
aku akan kembali ke Bandung. Fahran yang lucu itu mengatakan kepadaku bahwa aku
harus memenangkan Merah Putih Cup nanti. Aku sudah menceritakan bahwa aku ikut
klub sepak bola dan aku terpilih menjadi anggota klub dan Lofty akan bertanding
di Merah Putih Cup. Dia juga berpesan kepadaku untuk datang ke Kebumen lagi dan
mengajari dia dan kawan-kawannya teknik-teknik sepak bola.
Lulu, kakak Fahran
berpesan kepadaku untuk mengajarinya matematika. Dia jadi senang matematika
yang dahulu dia benci setelah aku ajarkan sedikit trik-trik dalam menjawab soal
matematika itu pada saat mati lampu kemarin. Aku pun berpesan kepada dia untuk
mengabariku bahwa hasil UN-nya besok bagus. Dan matematika mendapat nilai yang bagus.
Paman Li dan Bibi La
memberiku nasehat agar aku harus menurut pada ayah dan kakakku. Aku harus jadi
anak yang baik-baik, aku harus fokus belajar sekolah, dan menyeimbangkan dunia
dan akherat.
Sedangkan Kak Amir
hanya memberiku senyuman. Yap hanya
senyuman. Dia tidak berkata satu patah pesan dan kesannya kepadaku. Tak untuk
satu huruf, satu kata, ataupun satu paragraf. Aku menaiki bus efisiensi menuju
Bandung.
“See you next time, Kebumen,” batinku.
...
Tidak ada komentar