Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » Free Kick to My Andalucia's Promise Chapter 9



Chapter 9

Kebumen Berkata

author :noname


Kota di ujung selatan Pulau Jawa ini. Memang belum cukup terkenal. Kak Amir mengajakku ke Laut Petanahan. Laut lepas ke Samudra Hindia. Dengan memakai sepeda motor, kami melaju. Masih pagi, suhu udara juga masih dingin. Apalagi dengan naik motor. Aku tidak terlalu hafal jalan yang aku dan Kak Amir lalui, namun kita menembus batas kota menuju Kebumen, pastinya. Akan tetapi, dugaanku salah. Kak Amir mengatakan kepadaku, kita tidak akan melewati pusat kota sebenarnya tetapi hanya lewat dipinggir-pinggirnya. Aku tertawa saat Kak Amir menjelaskannya. Kita melewati terminal bus Kebumen, menurutku sangat kecil dan sepi. Terletak di pinggir Jalan Raya Lingkar Selatan dan bersebrangan dengan persawahan. Masih jarang rumah yang ada di sekitar terminal. Hanya saja beberapa meter dari terminal kita dapat menemukan perumahan Jatisari yang katanya belum lama di bangun.

Pantai petanahan yang berpasir hitam, belum banyak orang yang berkunjung. Ombak-ombak sudah meraung-raung memintaku untuk menyentuh air asin itu. Sudah lama aku tidak berekreasi ataupun berkunjung ke sebuah pantai.

“Aby, kamu mau cerita apa? Ayo bilang ke Kak Amir,” ucap Kak Amir melihat tanpa batas ujung laut.

 Kak Amir memang orangnya to the point. Orangnya juga cekatan dan sangat penyabar.

“Tahulah, ngapain kamu jauh-jauh ke sini dalam waktu tiga hari kalau ini tidak sangat penting bagimu. Aku tahu, kalau ini tidak penting bagimu pasti kamu sudah ada di Surabaya bersama para sahabat Viking dan Bonek melihat pertandingan Persib melawan Persebaya. Ayo ngaku,” Kak Amir menjelaskan hipotesisnya yang jelas saja betul.
“Benar baget hipotesis Kak Amir. Memang Kak Amir selalu dapat membuat hipotesis yang tepat,”  jawabku.
“Iyalah, itu juga karena Kak Luthfi, kakakmu menelpon Kak Amir,”  jawab Kak Amir.
“Loh kok bisa. Kenapa tadi Kak Amir seperti kaget lihat aku ada di depan pintu rumah kakak,”  kataku yang tidak percaya bahwa Kak Luthfi menelpon Kak Amir.
“Nih anak rese baget sih. Hati kamu belum peka yah, By. Udah berapa tahun kamu hidup dengan Kak Luthfi, kakakmu itu. Dia sayang banget sama kamu. Dia pasti mengkhawatirkanmu. Malahan, disetiap tindakanmu Kak Luthfi selalu khawatir,” kata Kak Amir yang kemudian menepuk pundakku.

Kata-kata Kak Amir membuatku menelan ludah. Aku seperti tercekik. Kak Luthfi orang yang selalu khawatir. Perempuan yang tersisa yang mewarnai hidupku ini.

“Iya iya, memang Kak Luthfi sayang sama akulah,” kataku membela.
“Itu sudah pasti, Bro. Dengar yah, Kak Luthfi menelpon Kak Amir setelah dia menelponmu. Dia bilang bahwa kamu akan datang ke rumahku. Dia mengungkapkan kekhawatirannya yang katanya kamu itu tidak kayak biasanya. Dia tidak mengira kalau kamu akan pergi ke rumahku. Dia melihat jadwal Persib tanding di Surabaya. Dari situ aku tahu ada masalah yang penting yang ada dalam dirimu. Ayo kenapa?” Kak Amir bertanya.
“Aku belum sanggup hidup tanpa ibu. Aku rindu dengan senyumnya. Aku seperti orang yang kebingungan. Aku seperti orang gila.”
Pikir dong By, kamu itu sudah bukan anak kecil lagi. Kamu udah SMA, hidupmu masih berlanjut. Masih panjang.”

Aku memang tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Kak Amir. aku juga bingung dengan diriku ini. Begitu susah aku memahami diriku sendiri. Aku memandangi lautan luas di tatapan mataku. Sungguh indah pantai ini. Biru, lautan biru. Namun sebenarnya aku sudah sadar bahwa akulah yang salah. Aku hanya tergantung dengan keadaan. Aku tidak mau merubah keadaan. Walaupun begitu, aku mengerti namun aku bisa mengatakannya kepada Kak Amir. begitu egosinya aku.

Kulihat seekor burung terbang bersama burung lainnya. Mungkin itu keluarganya. Indahnya hidup burung itu. Ayah, dia begitu pendiam, sudah beberapa kali aku menyebutkan watak ayahku ini pada kalian. Begitu pendiammya, sampai aku tidak bisa mengetahuinya lebih dalam. Dari aku lahir sampai aku usiaku sekarang. Air mukanya datar-datar saja. Aku tidak tahu ayah merasa senang, sedih, marah ataupun apa. Datar dan hambar.

Selama waktu di Pantai Petanahan, kami habiskan dengan saling diam-diaman. Kita sama-sama melihat ke depan. Yah ke depan. Masa depan telah menantimu kawan. Bersiaplah, buatlah perubahan.”
.
.
.
Aku tidak jadi ke Lipi Karang Sambung, Paman Li dan Bibi La tidak mengizinkan aku dan Kak Amir untuk ke sana. Padahal aku sangat ingin kesana. Melihat bukit-bukit yang dihiasi batuan yang unik dan luar biasa. Menjelajahi hutan pinus yang saling berlomba untuk lebih tinggi. Dengan strobilus yang berjatuhan. Menyusuri Sungai Lukulo dan menambang pasir. Melihat batuan pilo di tepi Sungai Lukulo. Melihat batu rijang yang super besar dan megah. Tentunya langka. Karang sambung yang dulunya lautan dan kini menjadi daratan yang dihiasi dengan batuan-batuan yang langka. Menuju Gunung Paras sampai ke puncak dan melihat lautan Samudra Hindia yang berwarna biru. Dengan orang-orang yang ramah dan sopan, jalan yang sempit. Namun, itulah yang sebenarnya aku mau. Aku mau bersama alam, berpetualang dengan mereka, bersama-sama. Mensyukuri nikmati dan rahmat Allah. Rihlah kata Kak Amir. apalah namanya, aku semakin ingin meyakinkan tekadku. Perubahan yang aku mau perubahan yang semakin baik, membahagiakan orang-orang di sekitarku dan juga Islam dan Indonesia.

Kak Amir meninggalkanku untuk pergi bertemu dosennya karena ada urusan tertentu setelah kami pulang dari Pantai Petanahan itu. Di rumah aku ditemani Bibi La dan Fahran. Bibi La sedang menyiapkan makanan untuk makan siang. Aku ada di teras samping rumah. Melihat suasana menjelang siang ini, pukul sebelas pagi, kamar mandi rumah Kak Amir ada di luar dan masih memakai yang namanya sumur, jarang di kota besar seperti Bandung mengggunkan itu, di depan aku duduk ada halaman rumah Kak Amir yang sudah di semen, banyak anak-anak sekitarnya bermain di sini. Ada yang bermain loncat tali, petak umpet, dan sepeda-sepedaan serta bermain bola. Termasuk juga Fahran. Dia sedang bermain bola dengan teman-temannya. Aku dengar senandung mereka dan air muka mereka, senang dan terseyum. Mereka menikmati permainan yang mereka buat sendiri. Aku juga mendengar pembicaraan mereka yang sedang bermain bola karena aku tertarik pada bola. Apa sih yang dilakukan anak-anak kecil yang hidup di desa dengan yang namanya bola? Aku sungguh tersentak mendengar pembicaran mereka.

“Viking Bonek itu sahabat, kalau The jak vs Viking sedangkan Bonek vs Aremania,”  kata salah seorang anak yang memakai baju hitam dengan nada keras.
Nih lihat kaosku, aku Aremania, di sini ada tanda silang bagi Bonek,” kata anak yang memakai kaos aremania dan memperlihatkan sablonan itu.
“Kalau punyaku Persija, loyalitas tanpa batas The Jak,”  memperlihatkan sablonan yang berwarna jingga itu kepada teman-temannya.
“Udahlah semua sama ajalah. Ayolah bermain,” kata Fahran yang sepertinya tidak sabar untuk menendang bola lagi.

Mereka masih saja mengeluarkan argumen yang mereka tahu. Mereka anak kecil saling menjelek-jelekan suporter lain. Aku tahu mereka sebenarnya tidak tahu permasalahan yang sebenarnya. Aku tersentak mendengar argumen-argumen mereka.

“Apakah sampai ke desa-desa begini?” tanyaku kepada diri sendiri.

Aku berdiri dan masuk dalam pembicaran mereka mengatakan apa yang aku tahu. Kukatakan pada mereka bahwa semua suprter itu teman. Permusuhan antar suporter itu tidak harus dicontoh. Bagaimana jika semua suporter bermusuhan dan timnas Indonesia akan tanding? Perlu kesatuan suporter kan?

Aku ajak mereka untuk bermain sepak bola. Aku ajarkan pada mereka teknik-teknik sepak bola yang menurutku mereka sanggup untuk menguasainya. Semua mata berbinar-binar ketika kukatakan akan mengajari mereka. Aku lebih suka situasi ini daripada yang tadi. Aku bermain bersama anak-anak desa ini. Melepas kerinduan bermain sepak bola di Bandung. hebat juga anak-anak desa ini. Mereka pasti akan menjadi pemain-pemain sepak bola yang hebat, seperti yang pemain sepak bola yang mereka sukai sebagai motivasi.

Berlari, berlari, tendang dan gol. Semuanya tertawa ketika aku menendang bola plastik dan bola tersebut ternyata nyangkut di atap rumah.  Aku sempat bingung dibuat merek karena mereka malah berlari. Senangnya hatiku saat tahu apa yang mereka bawa bersama-sama adalah tangga. Mereka meminjamnya dari sebuah rumah yang ada di sekitar sini. Mereka menggotongnya bersama-sama dengan meneriakan sebuah kalimat dengan keras dan bersemangat. Sungguh luar biasa anak-anak desa ini. Semua yang ada di halaman semuanya meneriakan kata setuju.

“ INDONESIA ANTI ANARKIS SEMUANYA CINTA DAMAI”
.
.
.
Hidup.
Tak selamanya tersenyum, kadang harus beredih.
Akan tetapi,
Kesedihan itu membuat energi yang tiada batas untuk,
Bangkit.
Hidup.
Mengarungi lautan mencari sebuah pelajaran.
Menyelami samudra mendalami arti hidup.
Berjuang untuk berubah.
Lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi.
Tak perlu menjadi matahari ataupun bintang lainnya.
Cukup menjadi diri sendiri namun,
Lebih baik untuk semua.

Semua penghuni rumah menonton televisi yang menyiarkan secara langsung pertandingan sepak bola antara Persebaya dan Persib. Dua klub yang besar di Indonesia dengan suporter yang besar juga. Pertandingan diadakan di Stadion 10 November. Stadion yang terletak di Desa Tambak Sari. Stadion kebanggan warga Surabaya. Aku membayangkan  jika aku berada di sana. Pastinya dengan teman-temanku. Melihat Persib sedang bertanding. Juga bertemu dengan sahabat Bonek di sana.

Kulihat di layar televisi, stadion itu dipenuhi dengan hijau dan biru seperti pulau-pulau yang ada di lautan. Bersorak-sorak ramai, menyuarakan yel-yel yang membuatnya semakin bersemangat. Tanpa henti-hentinya, tanpa lelah-lelahnya mereka terus bersuara. Ada juga yang memimpin semuanya di masing-masing tribun dengan membawa megafon sebagai pengeras suara. Para suporter banayk yang mengibakan kain yang bertuliskan Bonek-Viking, Viking-Bonek ataupun sebangsa itu. Ada juga yang memperlihatkan syalnya. Sampai-sampai ada yang mengecat setengah badannya dengan cat berwarna hijau dan biru. Antusias sekali. Semuanya.

Dari orang dewasa sampai anak kecil, laki-laki ataupun perempuan semuanya tumpah ruah di setiap tribun, tak ada satu pun tempat duduk yang kosong di stadion itu. Malahan berdesak-desakan. Aku yakin dan seyakin-yakinnya, pasti ada Viking Bonek yang tidak dapat masuk ke stadion karena tidak dapat tempat duduk. Mereka di luar stadion dan nonton bersama di layar yang besar itu. Biasanya begitu. Semuanya tertuju pada televisi yang berukuran 21 inchi itu. Kick off babak pertama akan di mulai. Dan prittt, permainan di mulai dan gelap.

“Mati lampu,” teriak Farhan.
“Yah!”  kata semua yang sedang menonton.

Mati lampunya kok sekarang sih. Tidak tahu apa ada pertandingan sepak bola big match. Padahal belum ada satu menit pertandingan berjalan. Kalau mati lampu iya pastinya semua keadaan gelap gulita. Ada rasa sebal dalam hatiku, jengkel.

Ada secercah cahaya tepatnya cahanya sentir, yang terbuat dari botol kaca yang diisi minyak tanah dan dipasang sumbu. Paman Li memegangnya, dan menghela nafas. Dalam ruangan yang hanya diterangi dengan cahaya sentir itu, sebelum Kak Amir membawa lampu emergensi ke tengah-tengah kami.

“Hore ada lampu juga akhirnya,”  kata fahran.
Yeyeyeye,” sambung Lulu.
“Maaf By, kita tidak bisa lihat pertandingan itu. Laptopku juga udah mati. Tadi aku lupa tidak ngisi baterainya,”  kata Kak Amir yang terlihat merasa bersalah.
“Tidak apa-apa kok,”  kataku meghibur diriku dan Kak Amir.
.
.
.
Hanya sehari aku ke Kebumen, hanya sehari rasanya tidak puas banget. Bagaimana pun aku harus kembali ke Bandung. Kak Luthfi sudah menelponku sejak tadi subuh, aku harus pulang dan tiada alasan untukku menolak. Selain itu, teman-teman Lofty juga sudah mulai latihan hari ini. Dan aku harus segera kembali dan kembali.

Berat juga berpisah dengan keluarga Kak Amir, saudara terdekatku ini. mereka terlihat sedih ketika aku akan kembali ke Bandung. Fahran yang lucu itu mengatakan kepadaku bahwa aku harus memenangkan Merah Putih Cup nanti. Aku sudah menceritakan bahwa aku ikut klub sepak bola dan aku terpilih menjadi anggota klub dan Lofty akan bertanding di Merah Putih Cup. Dia juga berpesan kepadaku untuk datang ke Kebumen lagi dan mengajari dia dan kawan-kawannya teknik-teknik sepak bola.

Lulu, kakak Fahran berpesan kepadaku untuk mengajarinya matematika. Dia jadi senang matematika yang dahulu dia benci setelah aku ajarkan sedikit trik-trik dalam menjawab soal matematika itu pada saat mati lampu kemarin. Aku pun berpesan kepada dia untuk mengabariku bahwa hasil UN-nya besok bagus. Dan matematika mendapat nilai yang bagus.

Paman Li dan Bibi La memberiku nasehat agar aku harus menurut pada ayah dan kakakku. Aku harus jadi anak yang baik-baik, aku harus fokus belajar sekolah, dan menyeimbangkan dunia dan akherat.
Sedangkan Kak Amir hanya memberiku senyuman. Yap hanya senyuman. Dia tidak berkata satu patah pesan dan kesannya kepadaku. Tak untuk satu huruf, satu kata, ataupun satu paragraf. Aku menaiki bus efisiensi menuju Bandung.

See you next time, Kebumen,” batinku.
...

Rohis Al-Madinah Planologi Undip

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu