Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | Chapter 8 Q.S Al Fatihah | ...
Chapter 8
Q.S Al Fatihah
author :noname
Kebumen, kota yang
indah menurut Pak Tomo, kota yang penuh dengan kenangan. Aku sekarang sudah
menginjakan kaki di tanah kelahiran Kak Amir ini. Terpampang tulisan STASIUN
KEBUMEN. Aku sempatkan diri untuk salat subuh. Ambil air wudhu dan salat subuh.
Di mushola tidak ada banyak orang yang sedang menunaikan ibadah salat. Karena
masih ada waktu kusempatkan untuk membaca Al-Qur’an pemberian Radit. Mulai
dengan ta’awud dan membaca surat
pertama yaitu Al-Fatihah. Aku sempatkan baca terjemahannya.
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang
memiliki (merajai) hari pembalasan.
Hanya
kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon.
Tunjukanlah
kami jalan yang benar.
Yaitu
jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan nikmat atas orang
yang dibenci dan juga bukan orang-orang yang tersesat.
Tertegun, aku membaca terjemahan ayat
Al-Fatihah ini. Ya Allah, sungguh aku memohon ampun kepada-Mu, aku telah
menjadi orang yang penuh dalam kehawatiran dan keraguan. Ya Allah, terima kasih
Engkau telah memberikan aku petunjuk untuk hidup di jalan yang Engkau ridhoi.
Ya Allah kini aku benar-benar mengerti. Selama ini aku telah menyia-nyiakan
yang telah Engkau beri. Sekarang aku akan mulai dengan hidup yang penuh dengan
tujuan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Tomo akhirat dan dunia. Sekarang detik
ini aku akan berubah.
.
.
.
Menuju rumah Kak Amir
aku harus naik ojek atau kendaraan umum lainnya. Akan tetapi, aku putuskan
untuk naik ojek. Rumah Kak Amir berada di pinggir Kebumen. Batas Kebumen timur
masih ke timur sedikit yang melewati Jalan Kutoarjo. Ada TK Desaku dan
pertigaan, kita berbelok. Kata Kak Amir pertigaan yang dipenuhi tukang ojek dan
becak itu disebut Surupan, entah dari mana kata Surupan itu. Supir ojekku
menyapa orang-orang di surupan saat kami melewatinya.
Pertigaan tersebut
membuat kita sekarang berada di Jalan Pagar Kodok. Belum jauh dari Surupan, di
jalan itu ada jembatan kereta, jalan kereta itu berada di atas jalan aspal ini.
Seperti terowongan. Masih terus berlanjut. Pagi-pagi sekali matahari belum
datang. Aku melewati persawahan, Balai Desa Wonosari. Itu pasti tempat
perangkat desa bertugas dan tentunya ini namanya Desa wonosari. Bangunannya
tidak seindah di Bandung. Banyak lumut di pagar-pagarnya. Papan yang
bertuliskan identitas kantor itu pun sudah berkarat. Jauh sekali! Motor masih
berjalan. Aku sudah bilang ke tukang ojeknya untuk jalan pelan-pelan.
Kita hampir sampai, aku
berhenti. Di tepi jalan, sebenarnya tidak ada pertigaan di tempat aku berdiri.
Namun, jendela kaca yang super besar rumah Kak Amir sudah terlihat. Aku hanya
perlu berjalan belok ke halaman rumah orang-orang yang berjejeran hingga aku
tepat di rumah Kak Amir. Rumahnya dilapisi batu-batu kecil yang sekarang dicat
warna biru muda. Lantainya berkeramik warna hijau kecil. Masih seperti dulu.
Tiga kaca-kaca yang super besar masih melekat menghiasai rumah tersebut.
Rumahnya besar dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Halamannya pun
luas dan tidak di pagari. Inilah uniknya di desa, kebanyakan halaman rumah
orang-orang tidak di pagari walaupun ada yang di pagar itu juga pakai bambu.
Jarang sekali rumah yang di pagari tembok beton yang menutupi rumahnya. Rumah
yang menghadap selatan itu aku ketok pintunya. Kak Amir kaget, ketika melihatku
berdiri di depan pintu rumahnya. Dia mempersilakan aku masuk.
Ayah dan ibu Kak Amir
datang ingin melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi sekali. Biasa aku panggil
dengan sebutan Paman Li dan Bibi a. Sejak kecil aku memanggil ayah dan ibu Kak
Amir demikian. Datang juga anak kecil yang manis nan cantik, namanya Lulu, adik
dari Kak Amir yang sekarang kelas satu SMP. Dia berjilbab namun sifat tomboynya
tidak hilang. Selalu jadi diri sendiri. Bibi La menyiapakan makanan dan kami
pun makan bersama. Adik Kak Amir yang paling kecil baru bangun ketika kami
sedang makan. Namanya Fahran. Dia baru kelas satu SD.
Kak Amir menyatakan
pernyataan bahwa dirinya juga libur kuliah, makanya aku dan Kak Amir dapat
leluasa berpetualang menjelajahi kota ini. Tadinya Lulu ingin ikut namun karena
sekolahnya tidak sedang libur, dia mengurungkan niatnya. Kasihan dia, padahal
semangatnya sudah semangat 45.
Paman Li dan Bibi La
orangnya ramah, selalu ramah juga baik hati. Persis seperti Kak Amir. Paman Li
bekerja sebagai guru SMK di Kebumen. Bibi La biasanya meluangkan waktunya
sebagai ibu rumah tangga dengan membuat pernak pernik yang unik dan lucu. Lain
lagi dengan Kak Amir sebagai mahasiswa UNS, Universitas Sebelas Maret di
Kebumen. Kak Amir juga sebagai guru ngaji di sebuah TPQ dekat rumahnya.
...
Tidak ada komentar