Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku | Chapter 7 A Disturbance Cause A Talk | ...
Chapter 7
A Disturbance Cause A Talk
author :noname
Sekarang ada orang di
depan dan di samping tempat yang aku duduki. Di depanku seorang lelaki dengan
keluarganya, istri dan satu anaknya lelaki, usianya sekitar delapan tahun.
Disampingku duduk seorang lelaki, berbadan besar dan senyuman yang selalu terlihat.
Walaupun begitu, aku tahu dia kelelahan. Aku kembali memejamkan mataku aku
tidak mau ikut dalam pembicaraan mereka menurutku tidak menarik. Berbicara
kerjaan, dan apalah aku juga tidak mengerti. Mereka orang-orang jawa. Aku
membuka mataku dan menerawang jauh ke
luar jendela. Apakah arti kehidupan ini
yah? Terbenak dipikiranku. Aku dengar mereka sekarang memasuki pembicaraan
tentang sepak bola.
“Kalau saya sukanya emyu sama Arema Malang,” kata orang yang
duduk di sebelahku.
“Saya Arsenal sama
Bonek,” lanjut orang yang juga membawa keluarganya. Dia memakai kemeja berwarna
merah.
“Wah suporternya musuhan, Bonek sama Aremania,” lanjut orang berbaju
hitam, orang di sampingku.
“Iya Bonek itu anarkis,
bondo nekat,” ejek orang berbaju
merah.
“Bonek itu suporter
spektakuler, hahaha. Aremania itu
yang pengecut,” tak mau kalah
“Apa kamu bilang? Bonek
itu yang brutal.”
Suasana semakin
memanas. Padahal ini tengah malam. Kedua bapak itu terus saja saling mengejek.
Aku tidak tahan dengan suasana sekarang ini. Ditambah lagi beberapa orang juga
ikut dalam pembicaraan yang panas itu.
“Aremania pengecut,”
kata seseorang yang ikut nimbrung.
“Bonek tuh yang brutal,” kata seseorang yang
juga ikut nimbrung.
“ HENTIKAN,” kataku
keras dan lantang.
Aku sudah muak dengan situasi seperti ini.
Semua orang yang berada dalam pembicaraan panas itu berhenti. Memandangku
dengan aneh. Aku berdiri mengatakan kepada mereka semua.
“Anda semua itu sudah
dewasa. Lihatlah sudah punya anak dan istri tapi masih saja bertengkar karena
hal sepele yang seharusnya tidak pantas dibuat kayak gini. Memang suporter
Indonesia itu tidak ada bagus-bagusnya dengan suporter di luar negeri. Di sana
mereka tidak ada yang kayak gini. Bertengkar di luar lapangan. Mereka sportif
dan menjunjung tinggi fair play. Anda
seharusnya memberi contoh kepada para generasi muda kalau pertengkaran itu
tidak ada baik-baiknya. Memutuskan tali persaudaraan. Yang tidak dihendaki
dalam Al-Qur’an.” kataku.
Aku langsung pergi dari
tempat itu. Entahlah, apa yang aku lakukan itu benar apa tidak. Apakah mereka
mengerti atau tidak. Entahlah juga, kenapa aku bisa ngomong sedemikian rupa?
Padahal aku sendiri adalah suporteryang tidak layak dianggap baik. Aku juga
manusia yang tak mengerti dengan pasti apa yang terkandung dalam AL-Qur’an. Aku
duduk di antara pertemuan gerbong yang satu dengan yang satunya. Dingin. Angin
malam yang berhembus. Aku memakai jaketku dan mengendong ranselku. Aku beranjak
dan menuju ke gerbong terdepan. Aku melihat di kanan kiriku, para penumpang
kebanyakan sedang dalam alam mimpi. Tenang dan seperti tak ada beban. Aku masuk
saja ke gerbong masinis. Entah apa yang aku kupikirkan hingga kau masuk ke
ruang itu. Ada seorang masinis yang sedang teridur dan yang satu sedang
mengemudi.
Aku berkenalan dengan masinis
itu, namanya Pak Tomo. Dia bertanya tujuanku naik kereta ini. Aku melihatnya
dari atas sampai ke bawah, kulitnya hitam, bola matanya hitam namun giginya
putih berkilau. Jika tersenyum aku tahu senyum itu mirip dengan seseorang, Radit.
Menurutku Pak Tomo masih muda, belum sampai 40 tahun umurnya.
“Oh Kebumen, di sana tempat yang indah, bapak dulu tinggal di Kebumen. Banyak
kenangan yang terukir di sana namun kedua orang tua bapak meninggal. Bapak
pindah ke Semarang ikut saudara.”
Aku tak menyangka Pak
Tomo mempunyai kenangan pahit di Kebumen. Kedua orang tuanya meninggal. Aku
jadi tertarik dengan kisah hidup Pak Tomo. Kematian orang tua mengingatkanku
kepada ibu.
“Waktu itu saya masih
SMP. Orang tua bapak meninggal kerena kecelakaan. Bapak juga kehilangan adik
kecil bapak yang baru berumur lima tahun. Tinggallah bapak dan adik bapak yang
hanya terpaut tiga tahun umurnya. Adik bapak namanya Sekar. Waktu kejadian
tersebut Sekar dibawa oleh paman dan bibi ke Gorontalo. Jadi bapak dan Sekar
berpisah.”
Aku tidak nyangka
begitu pahit kehidupan Pak Tomo. Sudah kehilangan orang tuanya dan adik
kecilnya selamanya. Juga harus berpisah dengan adiknya yang diboyong ke
Gorontalo. Berbeda sekali dengan aku. Yang baru diberi cobaan dengan kehilangan
ibu. Aku salut sekalinya saat cobaan menerpa, ketangguhannya patut diajungkan
jempol. Aku mengutarakan kekagumanku kepadanya.
“Jujur dulu bapak seperti kehilangan semangat
hidup. Bapak tidak ada semangat sama sekali dengan semua yang telah terjadi
namun karena Al-Qur’anlah bapak kuat. Setiap bapak terjatuh dalam rasa yang
sakit itu bapak membaca AL-Qur’an. Semua itu cobaan yang harus dijalani. Dan
bapak bisa menjalani semuanya. Bapak juga pernah seminggu tidak pulang ke rumah
bude dan pakde untuk pergi ke Gorontalo. Nihil, Sekar sudah pindah. Tidak
ada di Gorontalo. Bapak sangat sedih sekali. Di Gorontalo bapak
terlantung-lantung sampai akhirnya dibawa oleh pak polisi dan kembalikan ke
Semarang.”
Aku terdiam, mencerna
setiap kata yang keluar dari mulut Pak Tomo. Ya Allah, begitukah? Betapa aku
tidak bersyukur atas semua yang Allah berikan kepadaku. Aku mulai mengerti apa
yang selalu dikatakan oleh Kak Luthfi, yang dikatakan Kak Amir dan Radit.
Betapa banyak orang yang ada selalu di sampingku. Dhafa dan para Vitex trifolia . Semuanya ada di dekatku. Namun aku tidak
pernah bersyukur. Aku hanya diselimuti oleh keraguan, oleh kekawatiran, oleh
acuh tak acuh. Aku sekarang diberi contoh yang nyata oleh Pak Tomo. akan
tetapi, aku dan Pak Tomo adalah manusia
yang berbeda.
“Bapak belum bertemu dengannya. Makanya bapak
menjadi masinis, sekalian cari Sekar. Pasti jika Allah menghendaki kita
bertemu, pasti akan bertemu. Lagian bapak juga sudah terhibur dengan anak bapak
yang bernama Lia, dia mirip dengan Sekar kecil,” katanya dengan senyum lebar.
Pak Tomo kemudian
memperlihatkan sesuatu dalam dompetnya yaitu dua buah foto. Foto yang satunya
adalah waktu adiknya, Sekar kecil dan yang satunya adalah anaknya Lia. Sungguh
memang mirip. Apakah begitu sayang dan rindu pada adik satu-satunya yang
tersisa sehingga anaknya menjadi mirip dengan adiknya. Aku menggangguk
mengerti. Pak Tomo memandangiku dengan tatapan menyelidik.
“Oh
iya Nak, wajah kamu tidak asing di mata bapak. Sepertinya bapak pernah bertemu
dengan kamu sebelumnya.”
“Benarkah Pak? Kapan?”
tanyaku penasaran.
“Apakah kamu pernah
ikut tour suporter ke Malang?”
“Pernah, memang bapak
tahu saya?” tanyaku.
“Iya sepertinya begitu.
Saya kurang paham namun saya pernah lihat kamu sama kawan-kawan kamu turun dari
atas gerbong saat di stasiun.”
“Sepertinya iya. Kami
turun karena kami tidak kuat kalau selama perjalanan pulang kami di atas
gerbong,” kataku sambil mengingat peristiwa itu.
“Iya baguslah, memang
itu terlalu bahaya,” kata Pak Tomo.
“Pak boleh tanya tidak,
gimana pandangan bapak terhadap sepak
bola di Indonesia?” pintaku.
Aku penasaran terhadap
jawaban yang diberikan olehnya. Seperti apa pandangan seorang masinis yang
setiap hari bersama kereta. Yang mungkin sering banget dapat rejeki suporter
ataupun tawurannya yang saling lempar batu.
“Jujur iya bapak tidak
terlalu suka dengan sepak bola Indonesia. Belum sebagus sepak bola luar negeri,
baik dari segi organisasinya, sistemnya, pemain dan juga suporternya. Gini yah Nak, kalau saja semua mau
mengubahnya. Pasti dan pasti Indonesia akan maju seperti negara lainnya.”
Benar saja. Relatif
semua mengatakan seperti itu. Dan orang yang berkata seperti itu adalah
orang-orang yang punya pandangan luas. Semuanya harus mengubah kalau mau
berubah. Aku jadi teringat percakapanku dulu bersama kawan-kawan.
“Iya begitulah Pak, aku
sebagai suporter juga kadang berpikir seperti itu,” komentarku.
Aku tidak tahu harus
bilang apa lagi. Sudah terlalu banyak yang aku dapat dari seorang masinis ini,
Pak Sutomo. Pandangannya luar biasa. Andai saja aku dapat membalas kebaikannya
ini.
“Bapak yang sudah makan
pengalaman, hanya satu yang ingin bapak pesan kepada kamu, kejarlah ilmu
akhiran dan dunia yang harus seimbang,” pesannya.
Perjalanan masih
berlanjut. Saat kami tiba di sebuah stasiun. Pak Tomo pamit untuk pergi dari
stasiun. Katanya tugasnya sudah selesai dan akan digantikan dengan masinis yang
lain. Pak Tomo memberikanku kartu nama. Katanya sebagai saudara tidak baik
memutus tali persaudaraan. Kalau aku ada kesempatan, aku diperbolehkan untuk
berkunjung ke kediamannya. Beruntung sekali aku malam ini.
...
Tidak ada komentar