Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku | Chapter 6 Pelita Untukku
Chapter 6
Pelita Untukku
author :noname
“Benarkan apa yang aku bilang. Sekolah kita
libur tiga hari. Aku mau ke Surabaya, kamu ikut tidak?” kata Dhafa.
“Hmm, ke Surabaya ngapain?” tanyaku.
“Lah kamu tidak tahu, Persib bermain di sana. Bagaimana sih kamu ini,” jawab Dhafa sedikit
marah.
“Iya sorry. Tapi kayaknya aku tidak ikut deh.”
“Kenapa? Kamu tidak
bertemu sahabat Bonek dong.”
“Ingin sih tapi aku agendanya ke Kebumen bertemu
Kak Amir,” jawabku.
“Yah enggak rame dong enggak
ada kamu,” eluh Dhafa.
“Santailah Bro, kamu
ikut rombongan Vitex trifolia kan?”
tanyaku.
“Iya iyalah, masa
sendiri. Seperti orang hilang dong,”
jawabnya.
“Heheh. Iya tidak apa-apa kali,” ledekku.
“Huh dasar anak rese. Iya,
tadi Akhi Radit ngasih bungkusan ini
buat kamu,” kata Dhafa.
“Hah, dia anak ngasih
ini,” aku tak percaya
“Iya, sepertinya isinya
kamus kali. Tebalnya tidak main. Kamus
saku,” tebak Dhafa.
“Oke deh, thanks
yah. Mang Akhi Radit ke mana?”
tanyaku.
“ Dia ada rapat kali.
Orang aku baru berangat dia udah nyamperin
aku. Dia nitipin ini ke aku. Kamu
belum berangkat sih,” Dhafa cerita
panjang lebar.
“Pantes aku tidak lihat
dia. Memang aku berangkatnya siang yah?”
“Inilah dua penyakit
kamu yang sejak kecil kamu derita. Sebagai teman bahkan sahabat kamu. Satu,
kamu tuh tidak mau tahu jauh lebih
dalam yang kamu anggap tidak menarik. Kedua, kamu itu telatan. Jam tujuh kurang
lima belas baru nyampe sekolah,” kata
Dhafa sambil menunjuk jam.
“Biarlah gini-gini kamu juga tetap jadi temanku,
Dhaf,” kataku tidak mau kalah.
“Iya, memang setiap
orang punya kelebihan dan kekurangan,” kata Dhafa.
“Sok berfilosof deh kamu,
Dhaf,” ledekku.
“Biarkanlah.”
Walaupun Dhafa orangnya
aneh bin ajaib tetapi aku merasa bahagia dapat bersahabat dengan dirinya.
Sosoknya itu komplek banget.
.
.
.
Pulang sekolah, rumah
kosong, baik Kak Luthfi ataupun ayah tidak ada di rumah. Aku masuk kamar
berganti baju dan mempersiapakan apa yang aku bawa untuk ke Kebumen. Kumasukkan
ke dalam tas ranselku yang berwarna biru tua dan hitam. Baju ganti, sandal,
sikat gigi, handuk, makanan dan minuman, topi, dan tidak ketinggalan, dompetku.
Kulihat isi dompetku, masih mencukupi untuk pergi dan pulang.
Saat, aku melangkah
keluar kamar, aku teringat akan bungkusan yang diberikan oleh Radit itu. Aku penasaran namun keburu dikejar waktu
kereta, akhirnya aku putuskan memasukan ke dalam ranselku. Kupakai jaket dan
sepatu serta kugendong tas ranselku dan aku siap berangkat. Aku belum izin
kepada Kak Luthfi ataupun ayah. Itulah kebiasaan yang aku lakukan setiap
berpergian. Soalnya, kemungkinan tidak menerima surat izin dari mereka. Izinnya
kalau ada waktunya saja. Payah, itu kebiasaan yang tidak baik tapi tetap saja
aku menjalankannya. Aku hanya menulis pesan di memo yang terletak di samping
pintu depan rumah untuk di baca kedua penghuni rumah ini. Pastinya setelah
mereka pulang dari kesibukan masing-masing.
Buat
penghuni rumah.
Aku
libur 3 hari, aku main ke rumah Kak Amir. See you.. :D
Di stasiun aku menunggu keberangkatan kereta api menuju ke Kebumen. Aku
duduk menunggunya. Sambil aku mendengarkan mp3. Aku mengirim SMS ke Dhafa.
Untuk: Dhafa_persib
Dhaf, aku ke Kebumen nih lagi nunggu kereta.
Kapan kamu ke Surabaya? Bilang-bilang yah.
Terkirim baru beberapa detik saja. Memang teknologi saat ini sudah
canggih-canggih. Salut deh pada para
penemu-penemu ini. Menunggu balasan SMS dari Dhafa. Aku memandang jauh melihat
di hadapan mataku. Pergi ke masa lalu. Di sini tempat yang aku duduki. Aku,
ayah, Kak Luthfi dan tentunya ibu bersama-sama pergi ke kebumen naik kereta
yang cepat itu. Hmm, waktu itu
liburan semester satu SMP kelas satu. Menunggu sambil bercanda. Namun, detik
ini berbeda hanya aku sendiri yang ada di sini tanpa ayah tanpa Kak Luthfi dan
pastinya juga tanpa ibu. Sungguh, aku masih terus saja terbayang-bayang masa
lalu itu.
Di stasiun ini tidak banyak orang. Hanya segelintir orang saja yang
berada di stasiun ini. Kereta datang dan aku memasuki kereta itu. Memilih
tempat duduk dan kutempatkan diriku di samping jendela. Di depan kursi yang aku
duduki belum ada orang, begitu juga disampingku. Sepi sekali. Mungkin di
stasiun yang berikutnya akan banyak orang yang menaiki kereta ini. Aku memakai
kereta ekonomi, kereta yang biasa
ditumpani para Viking jika tour
pertandingan di Pulau Jawa ini. Mungkin Dhafa juga memakai kereta ekonomi ini.
Tidak hanya Viking, suporter lainnya juga memakai kereta api ekonomi. Kalau
bukan kereta, bus juga bisa menjadi transportasi altenatif. Ironisnya, banyak juga suporter yang sampai
duduk di atap gerbong kereta. Sampai memakan korban jiwa juga loh. Aku sempat juga melakukan tindakan
hal itu. Di kereta sudah penuh akhirnya sebagian anak Vitex trifolia termasuk aku, Dhafa, Kak Harun, Kak Rama, dan Kak
Rino serta Ridho. Namun, baru saja melewati satu stasiun aku dan teman-teman
khususnya Dhafa dan Kak Harun tidak kuat dinginnya. Akhirnya, diputuskan
anggota Vitex trifolia ini turun dan
pulang dengan menaiki bus. Begitulah, ironis sekali memang. Namun, memang
begitu kenyataannya. Siapa yang mau mengubahnya?
Kereta Api Kahuripan meninggalkan
stasiun dan bergerak menuju ke stasiun berikutnya. Kereta ini kumuh dan seperti
tak terurus. Banyak sampah di dalam gerbong penumpang. Banyak kaca yang kotor
bahkan retak dan pecah. Jika di Jepang kereta kelas ekonomi itu bersih dan
nyaman, tidak untuk Indonesia.
Tunggulah Kebumen, aku
akan datang. Aku membuka bungkusan yang diberi Radit. Ternyata isinya berupa
sebuah Al-Qur’an mini dengan dilengkapi terjemahannya. Ada sebuah surat yang
ditulis oleh Radit.
Untuk
saudara dan kawan akhi Abyan.
Dari
saudara dan kawan Radit.
Assalamuallaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Apa
kabar saudara saya? saya memohon kepada yang Maha Agung Allah swt agar Abyan
dilindungi-Nya, amin. Saya bermaksud memberi Abyan sebuah kitab suci agama kita
Al-Qur’an beserta terjemahannya agar Abyan membacanya dan memahaminya serta
diaplikasikannya. Dengan Al-Qur’an yang berukuran kecil ini bisa engkau bawa
pergi kemana-mana.
Abyan,
memang saya belum kenal betul dengan Abyan. Dan saya tahu Abyan juga belum
mengenal saya lebih jauh. Saya senang sekali ketika Abyan bertanya kepada saya.
Saya dapat menjawab apa yang saya bisa. Lebuh jauhnya Abyan baca saja Al-Qur’an
itu beserta terjemahannya. Itulah kitab yang diturunkan oleh Allah swt yang
dilalui oleh Rosul kita Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an itu adalah petunjuk bagi
umat Allah swt.
Abyan,
mungkin Abyan tidak melihat saya. Dan saya titipkan ini kepada Dhafa teman
abyan. Ayah Saya pindah tugaskan ke Kaliamantan. Dan pastinya saya dan keluarga
saya harus ikut ke sana. Abyan, saya senang dan bersyukur dapat mengenal Abyan.
Abyan pasti bisa menemukan jawaban dan pilihan yang terbaik. Saya tahu itu Abyan
pasti bisa. Abyan, kamulah saudaraku yang dapat mengubah pandangan saya
terhadap suporter-suporter. Saya dulu sangat tidak suka yang namanya suporter
karena cenderung bersikap anarkis. Namun, lewat kamulah saya dapat melihat sisi
lain suporter. Memang apa yang dikatakan ayah saya benar bahwa tidak semua
suporter itu anarkis. Setiap orang memiliki keunikan, kelebihan dan kekurangan
masing-msing.
Abyan,
semoga Allah memberikan kita rejeki untuk bertemu kembali. Maaf saya belum sempat
pamit kepada Abyan. Abyan, kamu adalah salah satu saudara terbaikku. Oh ya,
kamu dapat mengunjungi perpustakaan bawah tanah itu. Kuncinya sudah diambil
alih oleh seksi perpus lainnya. Oh ya, ini kontak nomer telepon saya. Mungkin
ada yang bisa saya bantu. Raditia:08988756xxx.
Akhirul
kalam. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Teman sekelas, Radit, yang jarang sekali aku perhatikan. Dia telah
pindah ke sebrang laut, Kalimantan. Orang ini yang memberiku sebuah kitab suci
Al-Qur’an dengan niat yang baiknya. Kata-katanya persis dengan kata-kata ibu,
Kak Luthfi dan Dhafa. Inikah takdir Allah yang diberikan kepadaku? Radit yang
baru kukenal dan pergi secepat ini.
“Asalamualaikum, dengan
siapa ini? Di sini Muhammad Raditia,” kata Radit di sebrang sana.
“Wasalam. Ini aku Aby.”
“Abyan, saudaraku, apa
kabar?” kata-katanya membuatku ingin tertawa.
“Baik-baik saja.
Bagaimana kabarmu?”
“Saya baik-baik saja.
Abyan kok ada suara seperti kereta?”
tanyanya.
“Iya aku ada di kereta nih. Kamu lagi di mana?” tanyaku lagi.
“Saya sedang ada di
kapal, menuju Kalimantan.”
“ Begitukah? Pasti melihat
hamparan air laut. Terima kasih Al-Qur’an mininya iya, Dit.”
“Iya sama-sama. Aku
senang dapat dikenalkan denganmu sebelum aku pergi ke Kalimantan. Allah itu
sungguh Maha Besar.”
“Iya aku juga senang.”
“Abyan, sungguh aku
percaya padamu, kamu pasti bisa.”
“Terima kasih, aku juga
sedang mencari jawaban atas segala kegelisahanku ini.”
“Iya baguslah, memang
kamu mau menuju ke mana?”
“Menuju ke Kebumen
menemui Kak Amir, sepupuku.”
“Begitu iya,
hati-hatilah.”
“Sama-sama hehe.”
“Hehe juga, kamu inspirasiku Abyan.” aku menyipitkan mata tanda
tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Radit.
Ternyata Radit asyik
juga. Dia mengatakan bahwa aku adalah inspirasinya. Aku tak begitu percaya
dengan apa yang dia katakan. Katanya aku adalah orang yang unik. Aku ingin
tertawa mendegarnya. Belum aku kembalikan hand
phone ke saku hand phone
berbunyi. Ada telepon dari Dhafa.
Dia sedang berada di
kafe EOS sedang kumpul dan akan segera pergi ke Surabaya. Kak Harun juga bicara
kepadaku menanyakan mengapa aku tidak ikut bersama mereka. Nada suaranya
menyiratkan kekecewaan dan kemarahan. Entahlah, aku tidak tahu pasti namun
belum sempat aku menjelaskannya sambungannya telah dia tutup.
“Nih kakak kelas kenapa lagi? Sentimental banget. Gara-gara aku
tidak ikut semua pada kangen. Hehehe,”
aku menghibur diriku sendiri.
Kereta terus melaju.
Melewati perkebunan dan perkampungan. Indah sejuk hijau nuansanya. Aku tertidur
karena saking lelahnya, entah apa yang terjadi di rumah, masa bodoh deh. Belum sempat aku bermimpi, telepon
berbunyi lagi. Siapa lagi nih?
Tertera nama Kak Luthfi.
Ayah tidak ada di
rumah, katanya pergi dinas ke Jakarta. Kak Luthfi di rumah bersama dua
sahabatnya. Kak Luthfi memarahiku karena aku tidak izin terlebih dahulu
kepadanya. Dia mengingatkanku untuk hati-hati. Aku sudah lelah dan ingin segera
tidur, aku biarkan Kak Luthfi berbicara bersama angin lalu. Aku pergi ke alam
mimpi tanpa menutup sambungan telepon dengan Kak Luthfi.
...
Tidak ada komentar