Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » Free Kick to My Andalucia's Promise Chapter 5

Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness | Chapter 4 E-mail dan Islam | Chapter 5 Diluar Dugaanku


Chapter 5

Diluar Dugaanku

author :noname



“Selamat siang semuanya, terima kasih sudah datang dan mau menjadi anggota Lofty. Langsung saja. Eskul ini, eskul yang santai tapi serius. Semuanya teman disini. Senior dan junior saling berteman dan bersahabat,”  Kata Kak Rino.

“Iya benar sekali apa yang dikatakan Rino, semuanya menjadi satu di Lofty,” tambah Kak Harun.

Setelah berbasa-basi, perkenalan anggota dan pengenalan tentang Lofty. Langsung saja kita ke lapangan guna bermain sepak bola. Salah satu hobiku. Sepakbola, sejak kecil aku telah mengenalnya. Wajar saja, aku tinggal di kota yang terkenal dengan sepak bolanya. Persib Bandung, tim favoritku. Sepak bola, menyehatkan dan menyenangkan. Akan tetapi, dapatkah kalian melihatnya? Melihat persepak bolaan Indonesia dan persepak bolaan di luar negeri? Bagai bumi dan langit, sangat jauh. Lihat saja kawan,di bumi pertiwi tercinta ini. Apa saja yang dilakukan elemen-elemen persepakbolaan dari yang tidak berkuasa sampai yang berkuasa, pemerintah. Para pemegang amanat sebagai pengurus organisasi persepak bolaan saja sudah tidak dipercaya oleh sebagian suporter, termasuk aku. Ada rasa kecewa yang dalam dihati kami, para Viking kepada pemerintah. Lihat saja sahabat kami, Bonek yang terkena hukuman. Memang sih yang dilakukan oleh mereka itu salah. Akan tetapi, semua yang dilakukan pasti ada alasannya. Memang pemikiranku hanya dari satu sisi, yaitu dari sisi suporter seperti aku, Aby.

Tidak ada prestasi yang dicapai oleh Indonesia dalam kancah international. Buruk sekali persepak bolaan kita. Kapan kita berjaya? Tentunya kita harus bersatu untuk mau berubah. Teringat kembali oleh kata-kata ibu, Al-Qur’an. Dalam kitab itu tertulis bahwa Allah tidak akan merubah kaum tersebut kecuali kaum itu berbuat perubahan. Tawuran,kerusuhan, korupsi lekat sekali dengan Indonesia.

Lihat saja dengan luar negeri. Organisasi persepak bolaan terorganisir secara bagus. Para suporter mendukung dengan sepenuh hati dan tanpa emosi. Tertib, sportif, dan terkenal berprestasi. Indonesia, masih banyak kecurangan.

“Munafik! Mungkin termasuk aku.”
.
.
.
Mega telah menapakan jejaknya di sudut timur. Cahaya yang diberikan olehnya membuat malam pergi dan hari pagi datang. Saatnya beraktivitas. Ibu pernah bilang kalau Allah selalu memberikan apa yang terbaik untuk kita, dan itu diulang kembali oleh Kak Luthfi, bagaimana tidak? Dia, kakak perempuan satu-satunya, Luthfiyah Nurfaiza, memberiku sarapan berupa ceramah. Hanya gara-gara aku mengeluh kenapa mega datang cepat sekali.

Kok udah pagi lagi,” kataku.

Datanglah dengan tiba-tiba seorang perempuan berjilbab hijau di depan kamarku. Tersenyum kepada diriku yang masih tergeletak di kasur dan bersembunyi dibalik selimut. Kak Luthfi mendesah mengucapkan kalimat andalannya yaitu istighfar.

“Apa lagi nih ceramahnya,” batinku.
Dah bangun By, tahu tidak itu takdir Allah yang diberikan kepada umatnya, itu yang terbaik karena Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Matahari itu pasti udah diperintah Allah untuk menyinari bumi,” kata Kak Luthfi panjang lebar.
Aku hanya menggerutu di dalam hati, apa-apan sih Kak luthfi bangun-bangun udah dikasih hadiah. Bukan hanya itu saja, Kak Luthfi menarik selimutku sehingga membuatku kedinginan.
“Iya-iya deh Kak, pagi-pagi kok sudah disuguhi ceramah,” timbalku.
“Abisnya udah bangun kesiangan, mengeluh pula, apa kata ibu di atas sana By.”
“Ok terserah kakak, emang udah siang yah?” tanyaku
“Dasar anak malas, tuh lihat saja jam bekermu,” kata Kak Luthfi dan akhirnya beranjak dari kamarku. Pergi, mungkin menyiapkan sarapan untukku.
“Gawat.”

Pukul setengah tujuh. Cepat-cepat aku menuju kamar mandi, kemudian menyiapakan mapel yang akan aku pelajari di sekolah dan tentunya makan sepotong roti diakhiri minum susu coklat. Kulihat ayah sedang di teras depan rumah sambil membaca koran. Kak Luthfi sudah pergi ke kampus duluan. Kalau tidak ke kampus ke rumah Kak Alin atau ke rumah Kak Iffah. Aku pamit kepada ayah.

“Hati-hati di jalan. Belajar yang rajin, By,”  petuah ayah.

Kuterima dengan anggukan. Kupacu motorku yang berwarna biru yang dipenuhi stiker biru. Dalam laju motor yang cukup cepat kembali terbayang ingatan ibu. Patut aku bersyukur ibu mengusulkan kepada ayah untuk memberiku les-les tambahan waktu kecil. Walaupun begitu,  aku sendiri menjalaninya dengan terpaksa. Dengan otak yang cukup encer akhirnya aku dapat diterima di salah satu SMA favorit di Bandung.

Kuparkir motorku di halaman parkir yang sudah dipenuhi oleh berbagai ragam kendaraan. Dari yang tidak pakai BBM, yang hemat BBM, yang super jelek sampai yang super mahal dan bagus tentunya. Aku berlari ke kelasku. Sampai pintu kelas. Disambut oleh bel masuk. Aku belum terlambat. Belum aku beranjak dari pintu kelas dari belakang seserang menubrukku sampai aku terjatuh dan tentunya dia juga ikut terjatuh.

“Siapa sih nubruk-nubruk? Oh Radit,” batinku setelah dapat menemukan wajahnya.
“Maaf Akhi, maafkan saya. Akhi tidak apa-apa?” tanyanya.
“Oh ya tidak apa-apa kok.” kataku.

Anak-anak kelas menertawakan peristiwa itu, termasuk Dhafa. Dia melihatku dengan tatapan mengejek. Dia memegang perutnya, mungkin menahan tawa karena menurutnya peristiwa ini lucu.

“Aby ditabrak anak rohis nih,” ledeknya.
Lah biasa saja, Dhaf,” kataku.
“Habisnya muka Akhi Radit menunjukan muka yang teramat bersalah.”
“Apa iya?”
“Dasar kamunya saja yang tidak  perhatiin,” komentar Dhafa sambil baca buku.
“Terserah deh. Dhaf kok, kamu baca buku segala. Emangnya ada ulangan. Rajin amat,” aku yang merasa aneh ketika Dhafa memegang buku. Wajar saja dia hanya memegang buku jika ada ulangan saja.  Sekarang kan tidak ada ulangan.
Eh, kamu belum tahu pa By. Kalau sekarang kan ulangan fisika,” kata Dhafa.
Hah apa iya? tidak kok,”  tolakku.
“Kamu tidak baca papan info iya kemarin. Tuh lihat.”

Dhafa menunjuk papan pengumuman di sebelah white board. Aku belum belajar sedikit pun dengan yang namanya fisika. Kuingin bertanya jam berapa fisika di kelasku. Akan tetapi guru fisika itu telah datang. Gawat.

Semuanya mengejakan soal ulangan di depan meja masing-masing. Hening, tidak ada suara sontek-menyontek. Pastinya, guru yang satu ini guru killer. Matanya seperti elang yang mencari mangsa. Setiap sorot matanya tersirat keganasan yang lapar akan mangsa. Tak seorang pun berani berkutik saat pelajarannya, termasuk aku. Kulihat soalnya. Penuh dengan angka-angka dan istilah-istilah. Aku bersikeras untuk mengingat rumus dan istilah-istlah yang ada dalam soal. Satu jam pelajaran berbunyi. Dan hanya tiga nomer yang baru aku kerjakan. Padahal masih ada tujuh nomer yang belum dapat aku pecahkan. Selama satu jam itu pun aku mengutak-atik soal.

“Fisika oh fisika. Bagaimana ini? satu jam lagi. Siapa yang akan membantuku?”
“Abyan, tahukah kamu Nak. Allah itu ada disetiap detik langkahmu. Dia, Rabbmu yang selalu ada disaat Kamu butuhkan. Dia, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mintalah pertolongan hanya kepada-Nya.”

Aku teringat kembali kata-kata ibu dan Kak Luthfi. Kedua perempuan yang aku sayangi. Allah, Rabbku, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Apakah Allah akan mengabulkan doaku, doa seorang yang buruk, yang tidak taat kepada perintah dan larangannya, manusia yang belum bisa membahagiakan ibunya? Namun aku coba untuk berdoa kepada-Nya.

Setelah kuberdoa kepada-Nya. Hatiku merasa tenang, pikiranku jernih, otakku mulai bekerja. Dan kuselesaikan ketujuh soal yang belum berhasil aku jawab. Hasilnya? Tepat waktu. Bel berbunyi tanda jam fisika sudah habis, aku selesai mengerjakan soal ketujuh itu. Subhanallah.

Dan hatiku tercengan, hatiku terkaget-kaget, apa yang sedang terjadi baru saja. Aku berhasil mengerjakan soal-soal itu dengan mudah. Allah telah mengabulkan doa manusia ini. Ya Allah inikah kebesaran-Mu? Inikah nikmat-Mu yang tak terduga? Ya Allah terima kasih, nikmat-Mu ini?

Karena jam ini jam kosong. Kembali lagi, aku kembali ke masalah yang sedang aku hadapi. Doa yang secara cepat terkabul. Aku ingin sekali berkonsultasi kepada Radit, yang ikut organisasi rohis, dia anak yang cukup dipercaya dalam hal ini. Dan pastinya dapat memberiku sebuah jawaban yang cukup baik. Dia ahli dalam masalah agama. Nilai PAI-nya saja pasti di atas delapan bahkan sembilan. Orangnya berperawakan kurus dan tidak terlalu tinggi. Kucari batang hidungnya di setiap sudut kelas namun tak juga aku temukan dia di antara penghuni-penghuni lainnya. Aku tanyakan keberadaan Radit kepada sahabat karibku.

“Kamu tanya keberadaan Radit di saat jam kosong” katanya belum menjawab pertanyaanku. Dia juga masih terus memandangi PSP-nya.
“Iya, memang kalau jam kosong Radit ke mana?”  tanyaku lagi.
“Sahabatku yang sudah aku jadikan sahabat sajak kecil. Kau ini memang tidak pernah lihat apa yang kamu tidak ingin lihat yah. Sudah berapa lama kamu satu kelas dengan Radit? Kamu belum tahu apa kebiasaannya. Dia pasti di mushola sekolah. Sedang melaksanakan salat sunnah. Dhuha namanya kalau tidak salah,”  Dhafa panjang lebar menjelaskan dengan masih menatap PSP-nya.
Aku memang tidak pernah memperhatikan orang secara seksama. Aku tidak perduli dengan apa yang orang lain lakukan dan aku anggap tidak menarik. Aku harus menemuinya. Saat aku berjalan keluar kelas. Dhafa mengejarku.
“Mau apa lagi nih Dhafa,” batinku.
“By, mau ke mana kamu? Ke kantin ? Aku ikut yah!”  tanyanya dan masih juga dengan kebiasaanya.
“Aku mau ke mushola, bukan ke kantin, Bro,” kataku yang jengkel dengan PSP-nya Dhafa.
Dia itu bagaikan saingan denganku, sebagai sahabatnya. Selain aku yang sejak kecil menjadi sahabatnya adalah PSP yang sedang dipegang oleh Dhafa saat ini.
Hah, mau ngapain kamu ke sana Bro?”  tanyanya lagi, kali ini tanpa melihat PSP-nya.
 “Mau ketemu Radit dan mau salat dhuha,” kataku singkat dan pergi meninggalkannya sambil tersenyum menang pada PSP itu.
Hey tunggu!”  dia memberhentikanku.
“Ada apa lagi, Dhaf?” tanyaku.
“ Kamu kenapa By? kok kamu berubah gitu. Gara-gara tabrakan sama Radit yah? Sejak kapan kamu mau salat dhuha?”  selidiknya.
“Sayangnya bukan begitu Dhafa. Ada hal yang membuatku berubah dan itu tak terduga. Aku mau konsultasi sama Radit. Kalau berubah menjadi lebih baik mengapa tidak?” kataku.
“Memang apa sih?” tanyanya lagi.
“Aduh Dhaf, kalau pingin tahu ayo ikut,”  ajakku yang sudah tidak tahan dengan pertanyan yang berubi-tubi dia hantamkan kepadaku.
.
.
.
Aku bertemu dengan Radit yang baru selesai salat dhuha. Aku mengatakan maksudku kepada Radit. Dia memberi saran untuk salat dhuha terlebih dahulu. Dhafa ikut salat dhuha. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku tak dapat mendengar hatinya berkata sesuatu. Aku tidak peka.

Semakin tenang rasanya hatiku saat selesai melaksanakan ibadah salat dhuha itu.  Sepertinya Dhafa juga begitu. Dia tersenyum-senyum sendiri saat dia telah selesai salat. Aku belum pernah tahu kalau mushola sekolah kami, mushola Nurul Hikmah mempunyai ruang bawah tanah semenjak Radit membawa aku dan Dhafa menuju ruang tersebut. Kata Radit ruang itu adalah ruang perpustakaan mushola untuk yang ikhwan. Aku takjub. Setelah sampai pada ruang yang berdinding warna putih dipadu warna biru. Banyak buku bertumpuk di setiap rak. Ada lima rak buku yang tinggi. Semuanya buku-buku islami. Radit menceritakan kepada aku dan Dhafa kalau dia di rohis adalah seksi perpustakaan. Yang mengurus segala sesuatunya yang berkaitan dengan perpustakaan. Radit mempersilakan aku untuk berkonsultasi kepada dirinya. Aku menceritakaan peristiwa yang tak terduga itu. Saat ulangan fisika tadi. Radit dan Dhafa mendengarkannya dengan seksama.

“Jadi kamu dapat mengerjakan soal fisika itu tanpa belajar sebelumnya. Padahal kamu juga ketinggalan pelajaran kemarin kan, “ Dhafa membuka suara setelah aku selesai bercerita.
“Iya begitulah,” kataku.
Subhanalllah, itulah kuasa Allah, Abyan. Menurut saya Allah ingin memberi tahu Akhi kalau Allah masih mengawasi Akhi. Akhi patutlah bersyukur. Akhi telah dibantu oleh Allah. Akhi tahu ini namanya apa?” tanya Radit kemudian.
“Apaan?” tanya Dhafa.
“Namanya hidayah Allah, namun benar-benar hidayah jika Akhi kembali ke jalan Allah dengan benar dan ikhlas. Dengan niat yang lurus,” Radit berkata lagi.
“Aku belum tahu Radit. Aku terlalu kaget akan semua ini. Jujur aku akui, aku kurang dalam agama walaupun keluargaku selalu memberikan ilmu agamanya.” kataku.
Dhafa ikut menganggukan kepala tanda dia setuju dengan apa yang aku katakan. Aku tersenyum kepadanya.
“Itulah yang membuatmu belum berubah, Kawan. Kalian tidak mau berubah. Cobalah untuk berubah sedikit demi sedikit. Bahagiakanlah orang tua kalian. Dan masuklah ke surga bersama keluarga kalian, saudara-saudara kita,” kata Radit.
Kini Radit sudah menggunakan kata kawan, mendengar kata bahagiakan orang tua dan masuk surga hatiku bergetir. Padahal, aku adalah manusia yang mempunyai banyak dosa.
“Iya, Aku belum membahagiakan orang tua,” kataku
“Bukannya semua umat muslim akan masuk surga,” kata Dhafa.
“Benar apa yang kawan bicarakan. Namun, sebelumnya, kita harus membayar perbuatan yang buruk dahulu dengan masuk ke dalam neraka. Tahukah Kawan? Satu hari di neraka berbeda dengan satu hari di hari-hari biasa. Kamu akan di siram dengan air panas. Sampai kulit kawan, sering terkelupas. Diandaikan kawan, asap neraka sudah panas dari global worming ini. Satu tetes uap air dari neraka juga dapat menghancurkan bumi dan seisinya,” kata Radit.
“Radit, aku belum dapat mencerna apa yang kamu bicarakan dengan dalam. Besok akan aku temui kamu lagi untuk berkonsultasi, terima kasih ,” kataku yang dianggukan Dhafa.
“Iya, itulah tugasku sebagai anggota rohis. Berjuang di jalan Allah. Dakwah mensyiarkan agama islam,” kata Radit dengan senyum manisnya.
.
.
.
Aku belum sanggup mencerna apa yang orang-orang katakan kepadaku tentang konsep Islam. Apakah aku yang terlalu bodoh Ya Allah? Lagi-lagi aku didera dilema dalam hatiku. Ingin aku cuek dengan semua yang baru terjadi namun aku tidak bisa berbuat cuek seenaknya.
.
.
.
Jika ada yang bilang, Ayah itu orangnya keras dan banyak omong tidak untuk ayahku. Ayahku adalah ayah yang pendiam, tidak banyak bicara. Namun, dengan wajah dan gerakan yang diperlihatkan, aku tahu maksud yang disampaikan. Ayah suka dengan komunikasi non verbal. Sejak ibu meninggal, ayah lebih pendiam dari biasanya, entahlah mengapa, aku pun tak tahu. Pernah kutanya Kak Luthfi, kok ayah pendiam banget, jarang komunikasi verbal dengan anak-anaknya, aku dan Kak Luthfi.

“Biarlah, setiap orang punya keunikan sendiri-sendiri.”
...

Rohis Al-Madinah Planologi Undip

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu