Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah | Chapter 3 Memories Loneliness
Chapter 3
Memories Loneliness
author :noname
Ayah dan Kak Luthfi
akhir-akhir ini menjadi sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah sibuk dengan
kerjaannya di Departemen Haji. Sedangkan Kak Luthfi sedang sibuk mengerjakan
tugas kampus bersama sahabatnya. Sisanya aku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan
hal itu. Hanya saja, ada yang berbeda semenjak kepergian ibu. Sungguh berbeda,
ayah menjadi sibuk dengan kerjaannya. Berangkat pagi kemudian pulang malam.
Kadang aku melihat ayah di tengah malam mengambil air wudhu dan salat malam.
Tak ada tetes air mata di wajahnya. Akan tetapi, wajahnya mensiratkan tangis,
sedu, dan sedih. Aku duga ayah pasti teringat ibu. Seperti halnya Kak Luthfi
yang sekarang tambah dewasa. Dia sibuk dengan tugas-tugasnya dan sering
menginap di rumah Kak Iffah ataupun Kak Haza.
Pulang sekolah, di
rumah tidak ada siapa-siapa. Aku berganti baju dan melajukan motorku untuk
pergi ke kafe EOS, kafe tempat perayaan hari VT3 yang berujung pengeroyokan.
Selain mengisi perut karena lapar. Aku juga ingin menenangkan diriku, mencari
hiburan.
Aku memilih meja nomer
18 karena itu adalah nomer punggung Matsunaga Sahu. Dia pemain asal Jepang yang
direkrut Persib. Aku menyukai gayanya dalam bermain di rumput hijau. Makanan
datang, aku langsung menghabiskannya. Setelah habis makanannya aku teringat ibu
yang menasehatiku waktu kecil.
“Jangan lupa berdoa sebelum dan sesudah makan, Aby sayang.”
“Maafkan aku ibu, aku
lupa!”
Ibu selalu dan tak
pernah henti memberikan kasih sayang juga perhatian terhadapku. Akan tetapi,
aku selalu dan selau memberontak tak mau mengerti apa maksud ibu. Ibu tak
pernah memarahiku jika aku melakukan hal-hal yang dianggap bodoh oleh
keluargaku, ibu hanya memberi nasehat kepadaku. Sayangnya, nasehat itu seperti
angin lalu bagiku saat itu. Sekarang semuanya berbeda, aku merasakan bahwa aku
telah menyia-nyiakan ibu sebaik itu. Hand
phone-ku berdering dan tertulis satu pesan dari Dhafa.
Pengirim : Dhafa_persib
Aby, yuk ke stadion lihat pemain
persib latihan. Jemput aku yah. Motorku masih di bengkel.
.
.
.
“By, tahu tidak kalau
yang ngeroyok kita adalah suruhan musuh besar Vitex trifolia?”
“Emang Vitex trifolia punya musuh di Bandung,”
kataku.
“Katanya sih ada,” jawab Dhafa.
“Siapa?” tanyaku.
“The Jak yang tinggal
di Bandung.”
“Apa iya? Terus kenapa
mereka nyuruh orang untuk ngeroyok kita?”
“Katanya sih mereka balas dendam karena kemarin
ada Viking yang membuat onar di wilayahnya mereka.”
“Hah! Wilayah mana?” tanyaku
lagi.
Belum sempat Dhafa
menjawab Kak Harun sudah menjawab apa yang aku tanyakan. Kak Harun ikut dalam
perbincangan di sudut tribun stadion tempat Persib bermain yang jarang diduduki
ketika para Viking ingin melihat pemain Persib berlatih.
“Wilayah kompleks rumah
orang The Jak itu,” Kata Kak Harun.
“Eh Kak Harun. Kok ada di sini?”
tanya Dhafa
“Iya aku mencari kalian
malah mojok di sini,” Kata Kak Harun
“Iya nih. Aby yang minta, Dia ingin nggak rame tempatnya,” jawab Dhafa. Dilanjutkan anggukan kepalaku.
“Oh kirain ke mana,” Kata Kak Harun.
“Terus apa hubungannya
orang Viking, orang The Jak, dan pengeroyokan Vitex trifolia?” tanyaku
penasaran.
“Orang The Jak itu
mengira kalau orang Viking itu adalah anggota Vitex trifolia yaitu Rino,”
Jawab Kak Harun.
“Kak Rino?” tanyaku
ingin tahu kejelasannya.
“Orang Viking itu
dikira Rino oleh The Jak itu. Padahal bukan Rino tapi kembarannya Rino yaitu
Reno. Tahukan?” kata Kak Harun.
“Oh ya, tapi Kak Reno kan tidak satu sekolah dengan kita.
Lagian Kak Reno juga udah beberapa minggu pindah ke Inggris. Lagian apa sih yang diperbuat Kak Reno sampai Si
The Jak itu balas dendam?” tanyaku.
“Aku tidak tahu apa
yang Reno perbuat bahkan Rino pun tidak tahu. Hanya saja sepertinya Si The Jak
itu salah sangka kalau Reno itu dikira Rino. Bahkan, Si The Jak itu, yang
namanya Andi sudah memata-matai Rino. Sampai akhirnya terjadilah
pengeroyokan,”
“Iya begitu.” Kata Dhafa mengiyakan.
“Eh tapi kalian anggota Vitex
trifolia tidak boleh kasih tahu Viking lainnya. Jangan sampai kasus ini
membuat keruh permusuhan The Jak dan Viking. Kalian tahu kan bagaimana Viking dan The Jak itu. Apalagi kalau kepala sekolah
tahu, nanti Vitex trifolia dapat
dibubarin secara paksa. Sekolah kita itu kan
salah satu sekolah favorit,” Kak Harun berargumentasi.
“Kenapa sih tidak boleh tahu? Para sesama Viking
kan harus tahu kalau kawannya
dianiaya. Biar kita balas dendam lagi saja ke The Jak. Aku geram dengan mereka.
Setiap kali aku ke Jakarta pasti jadi babak belur. The Jak itu musuh kita. Mereka
harus dibantai,” kata Dhafa berapi-api.
“Iya memang sih. Kita sama The Jak tidak akur-akur.
Aku masih ingat gimana kita waktu
masih SMP diamuk orang-orang gede Jakarta,”
kataku tak mau kalah.
“Sabar Saudara, kita
memang musuhan sejak lama sama The Jak. Tapi kalian tahu kenapa awalnya?” tanya
Kak Harun.
“Kalau aku tidak tahu
yang betul mana. Antara versi Viking dan the jak jauh berbeda. yang jelas aku
sangat sakit hati waktu peristiwa SMP itu”
kataku.
“Benar banget. Kita
udah kayak adonan. Padahal kita datang ke Jakarta dengan baik-baik. Malahan,
disambut dengan pukulan-pukulan. Kita yang masih SMP tidak tahu apa-apa terkena
imbasnya. Masuk rumah sakit lagi. Nih
Aby malahan ke ICU iya kan By?”Kata
Dhafa.
“Benar apa yang
dikatakan Dhafa. Aku sampai masuk ke ICU. Saking parahnya luka-lukanya.
Kepalaku gagar otak karena itu,” hatiku bicara.
“Iya itu jadi
pelajaranlah buat kalian. Memaafkan itu lebih baik loh. Lagian jangan sampailah kita seperti orang-orang di luar yang
bermusuhan tanpa alasan,” kata Kak Harun.
“Iya, kebanyakan para
Viking dan The Jak bermusuhan satu sama lain tanpa tahu alasan permusuhan itu
dengan jelas. Seperti Dhafa ini hehehe,”
kataku
“Tidak begitu kok By. Kamu tahukan kita alasannya
jelas.”
“Jujur aku tidak mau
adanya permusuhan kayak gini. Di seluruh Indonesia aku yakin kalau sebagian
Viking dan the jak itu bermusuhan. Misalnya tidak kayak gitu nanti dianggap
penghianat lagi. Apalagi kita yang ada di Bandung, markasnya Viking,” kataku kembali
“Setuju tapi memang
kebanyakan suporter itu kayak gitu. Contohnya saja Bonek, Aremania, NJ mania,
Kabomania, dan lain-lain. Suporter udah dicap anarkis oleh sebagian masyarakat.
Apalagi suporter yang datang ke stadion,”
kata Dhafa.
“Kita sebagai suporter
juga harus intropeksi diri. Kita juga badung, nakal, dan brutal
kadang-kadang,” kataku disambut dengan
mereka yang langsung mengangguk.
“Yah. Andaikan semua
elemen di Indonesia mau melangkah untuk perubahan. Pasti negara kita akan maju
melampaui Argentina, Brazil, dan Negara di Eropa lainnya,” kata Dhafa.
“Iya pasti
persepakbolaan kita sudah kondang seperti mereka,” kata Kak Harun.
“Iya, kata Kak Luthfi
ciri-ciri khusus masyarakat ideal yang ada dalam Al-Qur’an adalah suka
bermusyawarah, punya keadilan dan toleransi. Tak ketinggalan menjunjung tinggi
persaudaraan,” kataku mengingat apa yang
pernah diucapkan Kak Luthfi.
“Aku, Harun Zakarya
bercita-cita menjadi ketua PSSI yang selalu menjalankan musyawarah mufakat,
menegakkan keadilan, menjunjung tinggi persaudaraan dan toleransi. Aku akan membenahi
PSSI, aku akan membuat timnas dikenal seluruh dunia,” kata Kak Harun berapi-api.
“Aamiin,” aku dan Dhafa
mengamini.
Dan kami tertawa
bersama-sama. Harun, sosok kakak kelas yang bersahabat berjiwa pemimpin.
“Aku akan mendukungmu
kawan.”
Kami tertawa lagi.
Hidup ini begitu indah ketika bersama sahabat yang selalu tertawa menghibur
kawannya dan tentunya dirinya sendiri. Inilah yang namanya persaudaraan. Kak
Harun belum selesai memberikan informasi yang memang harus kami dengar. Sosok
yang berwibawa ini mengumumkan bahwa eskul
sepak bola akan membuka pendaftaran pemain. Kami disarankan ikut seleksi pemain
itu.
“Mengapa baru sekarang sih ngerekrutnya?” tanyaku.
Lofty, nama eskul sepak bola di SMA sekolahku kata
Kak Harun baru menyelesaikan pertandingan liga. Kak Harun sudah pasti tahu
aktivitas Lofty karena dia sendiri adalah anggota Lofty. Kak Harun juga
bercerita bahwa timnya itu hanya dapat masuk sampai semi final dan berharap
Lofty angkatanku akan lebih baik.
“Ya itu sih sudah biasa Kak, tahulah SMA kita
ini unggulnya yang di bidang intelektual. Kalau non akademik iya sedikitlah,”
Dhafa berkomentar dan membuat tawa kami meledak kembali.
Perbincangan kami
hentikan ketika pemain Persib selesai latihan. Kami beranjak pulang. Hari ini
cukup menyenangkan. Aku teringat kata-kata ibu lagi.
“Selalulah bersyukur apa yang telah Allah berikan hari ini, Aby.”
.
.
.
Hari ini aku terhibur
oleh perbincangan tadi di stadion. Pulang ke rumah Kak Luthfi dan ayah ada di rumah. Kami salat
maghrib bersama. Setelah itu, kami mengaji dan tahlil untuk mendoakan ibu.
Ayah berkata kepadaku
dan Kak Luthfi bahwa ayah akan sibuk sekali dengan pekerjaannya. Ayah berpesan
kepadaku bahwa aku dan Kak Luthfi harus mandiri. Ayah tidak dapat setiap saat
ada di rumah. Bahkan, ayah mengatakan bahwa kemungkinan ayah akan ditugaskan ke
Mesir untuk kepentingan kerjanya.
Setelah selesai salat
isya berjama’ah. Hatiku merasa tenang dan sejuk. Aku beranjak dan menuju ke kamarku.
Kunyalakan laptopku hendak bermain game
namun keburu datang Kak Luthfi.
“Asalamu’alaikum Aby.”
“Wa’alaikumsalam. Ada
apa Kak?” tanyaku.
“By, pinjam laptopnya yah. Laptop kakak rusak dan sekarang
diservis.”
“Iya Kak. Oh iya, Kak
tentang kata-kata terakhir ibu.”
“Oh itu. Itu harapan
ibu, kamu tahukan. Ibu ingin kamu menjadi manusia yang lebih baik yang dapat
menggapai ilmu dan impian serta taat kepada agama.”
“Maksud Kakak mengerti
arti hidup dan menjalankannya.”
“Begitulah, makanya
diresapi dalam-dalam yah.”
Kak Luthfi berlalu. Aku
ke ruang keluarga bermain game disana. Hanya ada satu komputer di rumah yaitu
di ruang keluarga. Aku berganti ide. Aku ingin mengakses internet. Lalu, aku
tanjapkan modem di hidung CPU. Aku buka e-mail. Mungkin saja ada pesan dari
teman-teman jauh ataupun saudara jauh. Dan hipotesisku benar. Ada tiga surat
elektronik. Sebelum aku tahu pengirim dan isi keempat pesan itu aku dipanggil
oleh kakakku.
“By, kok kakak tidak tahu laptopmu pakai user
account. Apa paswordnya?” tanya kakakku.
“Biar tidak sembarangan
orang buka laptopku Kak. Sini aku buka.”
Dan aku menekan tuts keyboard.
“Memang ada isi apa sih Aby?” tanya kakakku lagi.
“Tidak ada apa-apa,
Kak. Lihat saja sendiri. Beneran tidak bohong. Hanya buat jaga-jaga,” kataku nyengir
kuda.
“Oke deh kakak percaya. Ini apa paswordnya.
Besok kakak bawa ke kampus nih
laptop.”
“Paswordnya, “ abypersibvitextrifolia” .” kataku.
“Thanks Aby.”
Aku pergi menuju ruang
keluarga kembali. Akan terhenti bunyi di depan telepon rumah yang sedang
berteriak meminta diangkat gagangnya. Aku ucapkan salam kepada orang di sebrang
sana. Dia adalah atasannya ayah dan pastinya ingin berbicara dengan ayah. Aku
menuju ke kamar ayah. Ayah sedang mengerjakan pekerjaaannya. Kusampaikan bahwa
atasan ayah ingin berbicara dengan ayah.
...
Tidak ada komentar