Sinopsis dapat dibaca disini | Chapter 1 Blue Blood | Chapter 2 Tak Dapat Diubah |
Chapter 2
Tak Dapat Diubah
author :noname
Aku tersadar ada perban
di kepalaku. Ada juga plester di sekitar siku dan tanganku. Aku melihat
teman-temanku. Ada yang masih pingsan, ada yang meringis kesakitan, ada yang
diam. Kak Luthfi datang dengan mata yang sembab.
“Ada
apa lagi?” pikirku.
“Ya Allah, Aby. Kamu
tidak apa-apa kan,” Kak Luthfi berbicara dan memelukku. Kak
Luthfi menangis.
“Tidak apa-apa kok, Kak.”
“By, Ibu ingin bertemu
kamu untuk yang terakhir kalinya,” jawab
Kak Luthfi tersendat-sendat.
“Apa?”
Aku tidak tahu apa yang
dimaksud Kak Luthfi. Aku buru-buru beranjak dari tempat yang mempunyai selimut
warna putih. Kulepaskan infus dari tanganku. Dan berlari ke kamar rawat ibu
sekencang mungkin. Aku berlari sampai aku berada di pintu kamar rawat ibu dan
aku membuka pintu itu yang terlihat banyak misteri di dalamnya. Aku melihat ibu
tersenyum kepadaku ada ayah disampingnya. Aku mendekati ibu.
“Aby,” kata ibu lemah.
“Iya Bu, Aby ada di
sini,” jawabku. Aku duduk di samping ibu
yang sedang berbaring dan menggenggam tangannya yang halus ini.
“Aby,kamu tidak apa-apa
sayang?” tanya ibu.
“Aby tidak apa-apa
Ibu.”
“Abyan maafkan ibu
karena belum menjadi ibu yang baik bagimu dan Luthfi.”
“Ibu sudah menjadi ibu
yang sempurna bagi aku dan Kak Luthfi, iya kan
Kak?” kataku dan menatap ibu kemudian
Kak Luthfi yang baru sampai ruangan ini untuk memberikan kesetujuannya.
“Iya Bu, kamilah yang
harus minta maaf,” kata Kak Luthfi kemudian.
“Iya, apalagi aku yang
anarkis dan brutal ini.”
“Ibu sudah memaafkan
kalian Nak. Aby, Ibu yakin kamu akan jadi lelaki yang lebih soleh esok nanti.
Ibu selalu mendoakan kalian jadi anak solehah dan soleh. Selalu ingatlah amar makruf nahi munkar. Gapailah ilmu
dan impian kalian sampai ke Andalusia. “ kata ibu dijawab anggukan kami.
“Nurut sama ayah, Nak.
Luthfi jaga adikmu ini. Nasehati dia. Kemudian, dilanjutkannya “Ayah!” panggil
ibu.
“Iya bu,” jawab ayah
dan memegang tangan ibu.
“Ibu titip anak-anak iya
Yah.”
Ayah menganggukan
kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ayah membimbing ibu mengucapkan kata-kata berbahasa
arab. Aku tahu bahasa arab itu diucapkan saat ajal akan mendekat. Kak Luthfi
telah menitihkan air matanya kembali. Aku terdiam. Hatiku menangis. Namun, air
mataku belum mau keluar.
“Amar makruf nahi munkar, gapailah ilmu dan impian sampai ke Andalusia.
Ibu, mengapa harus begitu?” pikiranku terbang keman-mana memikirkan kata-kata
ibu yang aku anggap aneh.
“Mengapa harus
Andalusia, bukankah pepatah sering mengatakan gapailah ilmu sampai ke negeri
Cina. Mungkinkah ibu mengharapkan aku pergi ke Andalusia. Padahal, aku tidak
tahu di mana Andalusia itu berada.”
Setelah beberapa detik.
Malam jumat, pukul 21.15 WIB, ibuku yang teramat aku sayangi telah kembali
kepada sisi Allah swt. Kak Luthfi semakin deras menitihkan air mata itu. air
mata kehilangan seorang ibu.
“Aku telah kehilangan
seorang yang tak ternilai harganya. Yang tak dapat tergantikan dengan apapun.
Aku menjadi anak piatu, aku dan Kak Luthfi. Ibu, mengapa engkau meninggalkan
kita semua? Aku belum sanggup tanpa dirimu, Bu. Sungguh, aku tidak mau
kehilangan dirimu. Kehilangan senyuman manis, sinar mata yang indah, masakan
yang super lezatnya, orang yang dapat meluluhkan hatiku disaat aku keras hati.
Yang sering berhasil meredam emosiku. Malahan, selalu bisa. Ibu, apakah aku
sanggupkah aku hidup tanpamu?” hatiku terus saja berteriak menghadapi kenyataan
yang terjadi.
“Ibu, terima kasih
telah menjadi ibu yang begitu sabar mengurusku dari aku lahir sampai aku tumbuh
hingga kini. Ibu telah tiada. Inalillahi,”
aku menarik nafas dalam-dalam.
.
.
.
Hari ini adalah hari
Jumat. Ibu akan dimakamkan. Semalaman aku tidak bisa tidur. Teringat dengan
masa lalu saat bersama ibu. Aku masih ingat. Waktu ibu menggendongku saat aku takut naik perahu,
saat ibu mengobati lukaku karena aku berkelahi dengan temanku waktu kelas enam
SD, saat ibu membuatkan makanan kesukaanku waktu aku ulang tahun yang ke-11.
Kenangan bersama ibu tak akan mungkin hilang begitu saja. Akan abadi ada di
dalam hatiku.
Di pemakaman, aku, Kak
Luthfi dan ayah menaburi bunga di tempat peristirahatan terakhir ibu. Kak
Luthfi ditemani sahabatnya, Kak Iffah dan Kak Haza. Ayah didampingi para
kerabat dan tetangga yang datang. Sedangkan aku, aku bersyukur dikarunia
sahabat-sahabat yang selalu ada saat suka dan duka. Ada Dhafa juga teman-teman
sekelasku dan para anggota VT3. Memang kami para VT3 menjunjung tinggi
kebersamaan. Lihat saja mereka yang habis dikeroyok oleh orang-orang tak
dikenal masih mau menemaniku. Mereka malah memarahiku kenapa aku tidak cerita
kalau ibuku sakit sejak kemarin. Thanks
God.
Di rumahku yang masih
dengan suasana duka, kami semua berkumpul di ruang keluarga dan saling
berpandangan. Entah apa yang akan kami lakukan detik berikutnya. Aku sekarang
ini benar-benar tidak mood untuk
melakukan kegiatan apapun. Ternyata detik berikutnya adalah suara Dhafa.
“By, semuanya pasti
akan kembali ke sisi Allah. Kata Pak Ustadz di kompleks rumahku, tidak ada satu
pun orang yang tahu kapan akan meninggal karena semua itu adalah kehendak
Allah. Dan Allah memerintah malaikat-Nya yang disebut malaikat maut. Siapa ya
namanya?” kata Dhafa.
Aku kaget Dhafa bicara
seperti ini. Belum pernah Dhafa berkata secara islami. Yang aku tahu, dia susah
baget disuruh salat dan ngaji. Yang dia suka adalah main PSP.
“Malaiakat Israfil yah,” kata Kak Harun.
“Bukan, Malaikat Malik
kan Dhaf,” tolak Ridho.
“Bukan juga. Malaikat
Munkar kok,” kata Kak Rino.
“Kalian salah semua.
Yang betul adalah Malaikat Izroil. Malaikat Israfil malaikat yang ditugaskan
oleh Alloh untuk meniup sangkala di hari kiamat. Malaikat Malik adalah malaikat
penjaga neraka. Sedangkan, Malaikat Munkar adalah malaikat yang ditugasi untuk
menanyai amal manusia di dalam kubur, tugasnya bersama malaikat Nakir,” Kak Iffah ikut menjelaskan.
Semua mengangguk, dan
membuat aku, Kak Luthfi, Kak Iffah, dan Kak Haza tertawa karena ekspresi
mereka. Kemudian, mereka juga ikut tertawa. Aku tak menyangka aku dan Kak
Luthfi dapat tertawa sedemikian rupa.
“Iya Malaikat izroil.
Aku belum lama ini dipaksa-paksa orang tuaku ikut pengajian anak muda
dikompleksku. Kalau tidak aku akan mendapat konsukensinya. Hehehe,” kata Dhafa.
“Oh pantesan,” kata
Harun.
“Jangan melakukan
sesuatu hal karena terpaksa, tidak dapat pahala loh,” kata Kak Haza.
“Lah Kak, orang kita-kita malas,” kata Ridho sesudah menyeruput teh
yang baru dibawakan bibi.
“Uhhh, kamu aja sana Do, jangan ajak-ajak aku,” kata Dhafa.
“Kok begitu sih,” Ridho cemberut.
“Udahlah, semuanya
butuh waktu untuk mencapai hal yang baik. Asalkan kalian mau pasti bisa,” Kata Kak Luthfi dan semuanya menggangguk
lagi.
“Oh iya, Malaikat
Israfilkan tugasnya meniup sangkala di kiamat nanti. Terus kalau dunia belum kiamat,
Israfil sih ngapain?” tanya Rino.
“Malaikat selalu
bertasbih dan mensucikan Allah,” Kata
Kak Haza singkat namun jelas. Memang Kak Haza pembawaannya tegas. Sesuai
namanya Hazamah yang mempunyai arti ketegasan dan kecermatan. Aku tahu itu dari
Kak Luthfi.
Tidak tahu kenapa
teman-temanku antusias dengan hal yang sedang kami bicarakan. Biasanya kan kami
hanya mengobrolkan tentang Persib, suporter, pertandingan di Indonesia maupun
di luar negeri, ataupun ujung-ujungnya masalah motor dan mobil. Akan tetapi,
sekarang mereka dan aku sedang membicarakan hal yang islami. Kak Iffah dan Kak
Haza adalah sahabat Kak Luthfi. Mereka satu fakultas di ITB. Mereka selalu bersama dan mereka adalah
wanita-wanita yang taat kepada agama. Mungkin teman-temanku menghormati kakak
perempuanku dan sahabatnya karena mereka adalah wanita soleh dan berjilbab.
Biasanya teman-temanku tidak bersikap sehalus ini kepada teman-teman perempuan
di sekolah ataupun di luar sekolah. Mereka biasa saja. Mungkin karena
kebanyakan teman-teman perempuan belum berjilbab. Sehingga ketika bertemu
perempuan berjilbab mereka menghormatinya.
“Begitukah?” tanyaku
dalam hati.
.
.
.
Aku mulai belajar
mengikhlaskan kepergian ibuku. Apalagi setelah perbincangan tadi. Ada rasa lega
dalam hatiku. Aku tidak mau terus berada dalam kesedihan. Aku masih mempunyai
masa depan. Aku harus maju. Aku baru mendalami pelajaran yang aku terima di
bangku sekolah tentang malaikat dan kiamat. Kiamat yang dijelaskan oleh Kak
Haza ada dua kiamat yaitu kubra dan sugra. Kiamat kubra kiamat berakhirnya
dunia ini. Sedangkan kiamat sugra atau kiamat kecil. Seperti bencana alam dan
kematian seseorang ibu. Ikhlas.
Ayahku dan Kak Luthfi begitu tenang dalam menghadapi kenyataan ini. Mereka
sudah mempraktekannya. Sedangkan aku. Aku juga harus mempraktekkannya.
“Kalimat terakhir dari
ibu adalah masa depanku.”
...
Tidak ada komentar