Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

PENGURUS HARIAN

Kota

Portfolio

Feature

» » » Mengetuk Pintu Paksa



Mengetuk Pintu Paksa
“Saat aku lelah menulis dan membaca di atas buku-buku,
kuletakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
-Imam An Nawawi-

Kawan, dalam hidup ini pasti kalian memiliki keinginan, harapan, cita-cita yang sangat kuat. Entah itu harapan untuk diri sendiri, untuk orang tua, saudara, sahabat, teman, atau bahkan untuk bangsa dan agama. Harapan tersebut pasti telah memaksa kalian untuk melakukan setiap langkah yang tidak menyenangkan. Langkah-langkah itulah yang disebut sebagai proses. Kita bisa saja membuat rencana tentang proses yang akan dilalui, namun tidakkah kita ingat bahwa Allah telah menentukan takdir kita?
Allah memang telah mempersiapkan skenario hidup manusia, tapi manusia tidak bisa hanya diam mengikuti arah aliran sungai deras yang bisa saja membawanya ke arah bahaya.
“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka....” (Q.S. Ar-Ra’d 13 : 11)
Ikhtiar merupakan kata kunci yang dapat digunakan sebagai alat untuk menjemput apa yang kita harapkan. Membahas tentang ikhtiar, seringkali kita akan merasakan awal yang baik. Penuh semangat, orang jawa bilang “I’m so excited!”. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semangat membara di dalam tubuh akan mulai melemah. Pikiran membawa masuk ke zona nyaman yang justru semakin menambah beratnya langkah yang harus ditempuh untuk kembali berusaha mencapai tujuan kita. Saat inilah kita harus memaksakan diri untuk tetap istiqomah.
Paksaan. Tidak selamanya kata “dipaksa” memiliki arah yang kurang baik dan terkesan melanggar hak asasi. Paksaan serupa dengan pertempuran melawan ego dan nafsu diri. Awalnya, dipaksa oleh lingkungan, misal seperti adaptasi di kampus baru. Apalagi mereka mahasiswa yang jauh dari peradaban aslinya, “terpaksa” untuk bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru dan manusia-manusia baru di dalamnya. Mau gimana lagi? Makhluk hidup pasti melakukan adaptasi. Pada awal-awal jiwanya payah, jasadnya lelah. Lalu mulai terbiasa. Lalu ia menikmatinya. Kemudian menghayati kembali tentang makna keikhlasan. Begitulah jalan para pejuang, kepayahan dan keindahannya tidak berujung.
Tetapi bukankah memang dalam kehidupan ini banyak yang harus kita jalani melalui lorong keharusan? Ada keharusan dalam tiap peran kita sebagai pribadi. Lalu apa jadinya kalau pintu paksaan itu datang dari langit? Nabi Muhammad SAW, sebagai insan terpilih telah merasakan kengeriannya. Siapa yang mampu menepis rasa lemah dan ketidakmampuan ketika ditimbuni tugas untuk mengubah wajah bumi yang coreng moreng? Di Gua Hira, Muhammad SAW dipaksa membaca. “Aku tidak bisa membaca”, kata beliau. Tetapi Jibril terus saja memaksa, mendesak, “Bacalah!”
Terengah dan merinding, keringat menderas, dan wajah pias pasi ia menjawab lagi, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian Jibril membimbingnya. “Bacalah dengan asma Rabbmu yang telah mencipta. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena. Ia ajarkan pada manusia apa-apa yang belum diketahuinya.
Getar mengharu biru, dengan perasaan tercekam, dengan keringat yang terasa bagai lelehan salju di kulitnya yang memucat. Beliau menirukan bacaan itu. Jibril telah memaksanya. Dan bermula dari paksaan itulah, telah terpenuhi takdir kesejarahannya untuk mengubah dunia.
Banyak yang menyamakan disiplin dan memaksakan diri dengan tiada kebebasan. Kata mereka, ”Keharusan membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan. saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.” Pada kenyataan sebaliknya, hanya orang-orang yang disiplinlah yang benar-benar bebas. Oang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan, dan nafsu-nafsunya.
Di jalan cinta para pejuang, kita ucapkan, “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” Tiada daya untuk taat, dan tiada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali dengan prtolongan Allah.” Dan sesudah mengucapkannya kita harus memaksakan diri melangkahkan kaki di jalan para pejuang. Walau terntuk, walau tersaruk, walau terhuyung. Walau kadang limbung digalut bingung.

“kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar
hanya dirimu yang mengerdil
tenanglah, semata karena Allah bersamamu
maka tugasmu hanya berikhtiar
dan di sana pahala surga menantimu”
–Salim A. Fillah-

Ditulis oleh Yeti Ulfah Tuzyahroya (Sekdep Kaderisasi), pada hari Jumat,13 Maret 2015.

Sumber :

Fillah, Salim A. 2008. Jalan Cinta Para Pejuang. Pro-U Media: Yogyakarta.

Unknown

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
This is the last post.

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu