“Saat aku
lelah menulis dan membaca di atas buku-buku,
kuletakkan
kepala
dan saat
pipiku menyentuh sampulnya
hatiku
tersengat
kewajibanku
masih berjebah,
bagaimana
mungkin aku bisa beristirahat?”
-Imam An
Nawawi-
Kawan,
dalam hidup ini pasti kalian memiliki keinginan, harapan, cita-cita yang sangat
kuat. Entah itu harapan untuk diri sendiri, untuk orang tua, saudara, sahabat,
teman, atau bahkan untuk bangsa dan agama. Harapan tersebut pasti telah memaksa
kalian untuk melakukan setiap langkah yang tidak menyenangkan. Langkah-langkah
itulah yang disebut sebagai proses. Kita bisa saja membuat rencana tentang
proses yang akan dilalui, namun tidakkah kita ingat bahwa Allah telah
menentukan takdir kita?
Allah
memang telah mempersiapkan skenario hidup manusia, tapi manusia tidak bisa
hanya diam mengikuti arah aliran sungai deras yang bisa saja membawanya ke arah
bahaya.
“....Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa apa yang pada diri mereka....” (Q.S. Ar-Ra’d 13 : 11)
Ikhtiar
merupakan kata kunci yang dapat digunakan sebagai alat untuk menjemput apa yang
kita harapkan. Membahas tentang ikhtiar, seringkali kita akan merasakan awal
yang baik. Penuh semangat, orang jawa bilang “I’m so excited!”. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semangat
membara di dalam tubuh akan mulai melemah. Pikiran membawa masuk ke zona nyaman
yang justru semakin menambah beratnya langkah yang harus ditempuh untuk kembali
berusaha mencapai tujuan kita. Saat inilah kita harus memaksakan diri untuk
tetap istiqomah.
Paksaan.
Tidak selamanya kata “dipaksa” memiliki arah yang kurang baik dan terkesan
melanggar hak asasi. Paksaan serupa dengan pertempuran melawan ego dan nafsu
diri. Awalnya, dipaksa oleh lingkungan, misal seperti adaptasi di kampus baru.
Apalagi mereka mahasiswa yang jauh dari peradaban aslinya, “terpaksa” untuk
bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru dan manusia-manusia baru di
dalamnya. Mau gimana lagi? Makhluk hidup pasti melakukan adaptasi. Pada
awal-awal jiwanya payah, jasadnya lelah. Lalu mulai terbiasa. Lalu ia
menikmatinya. Kemudian menghayati kembali tentang makna keikhlasan. Begitulah
jalan para pejuang, kepayahan dan keindahannya tidak berujung.
Tetapi
bukankah memang dalam kehidupan ini banyak yang harus kita jalani melalui
lorong keharusan? Ada keharusan dalam tiap peran kita sebagai pribadi. Lalu apa
jadinya kalau pintu paksaan itu datang dari langit? Nabi Muhammad SAW, sebagai
insan terpilih telah merasakan kengeriannya. Siapa yang mampu menepis rasa
lemah dan ketidakmampuan ketika ditimbuni tugas untuk mengubah wajah bumi yang
coreng moreng? Di Gua Hira, Muhammad SAW dipaksa membaca. “Aku tidak bisa
membaca”, kata beliau. Tetapi Jibril terus saja memaksa, mendesak, “Bacalah!”
Terengah
dan merinding, keringat menderas, dan wajah pias pasi ia menjawab lagi, “Aku
tidak bisa membaca.” Kemudian Jibril membimbingnya. “Bacalah dengan asma Rabbmu
yang telah mencipta. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Rabbmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena. Ia ajarkan pada manusia
apa-apa yang belum diketahuinya.
Getar
mengharu biru, dengan perasaan tercekam, dengan keringat yang terasa bagai
lelehan salju di kulitnya yang memucat. Beliau menirukan bacaan itu. Jibril
telah memaksanya. Dan bermula dari paksaan itulah, telah terpenuhi takdir
kesejarahannya untuk mengubah dunia.
Banyak
yang menyamakan disiplin dan memaksakan diri dengan tiada kebebasan. Kata
mereka, ”Keharusan membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan.
saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.”
Pada kenyataan sebaliknya, hanya orang-orang yang disiplinlah yang benar-benar
bebas. Oang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak
kesenangan, dan nafsu-nafsunya.
Di
jalan cinta para pejuang, kita ucapkan, “Laa haula wa laa quwwata illaa
billaah.” Tiada daya untuk taat, dan tiada kekuatan untuk menjauhi maksiat
kecuali dengan prtolongan Allah.” Dan sesudah mengucapkannya kita harus
memaksakan diri melangkahkan kaki di jalan para pejuang. Walau terntuk, walau
tersaruk, walau terhuyung. Walau kadang limbung digalut bingung.
“kekhawatiran
tak menjadikan bahayanya membesar
hanya
dirimu yang mengerdil
tenanglah,
semata karena Allah bersamamu
maka
tugasmu hanya berikhtiar
dan
di sana pahala surga menantimu”
–Salim
A. Fillah-
Ditulis oleh Yeti Ulfah
Tuzyahroya (Sekdep Kaderisasi), pada hari Jumat,13 Maret 2015.
Sumber :
Fillah, Salim A. 2008. Jalan Cinta Para Pejuang. Pro-U Media: Yogyakarta.
Tidak ada komentar